Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Nature

Sekaratnya Citarum, Apakah Juga Sekaratnya Kepedulian Kita?

26 April 2011   05:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:23 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

'Selamatkan Citarum'. Sebuah tema yang penuh dengan paradoks, dan khas Indonesia: menyelamatkan sesuatu yang sepertinya sudah terlambat untuk diselamatkan, atau jika pun terselamatkan, usahanya akan jauh lebih sulit dan hasil yang didapat mungkin tidak sebanding dengan usaha keras yang dilakukan.  Tapi sebagai rakyat yang cinta dengan Indonesia, kita jangan berkecil hati. Kita pun bisa merubahnya. Tapi kita harus bergerak SEKARANG, sebelum kepedulian bangsa kita sekarat mengikuti Citarum yang bisa saja mati. [caption id="attachment_105110" align="aligncenter" width="300" caption="sungai jaman dahulu (bukan Citarum)"][/caption] Citarum sebagai sebuah sungai terpanjang di Jawa Barat, dahulu memegang peranan penting, terutama sebagai sumber mata air, daerah penyangga banjir, beserta perlindungan flora dan faunanya. Namun sekarang, Citarum hanyalah sebagai sungai pengangkut sampah dan sungai pembawa malapetaka banjir. Di tahun 2009 ada lembaga yang menempatkan sungai Citarum sebagai sungai terkotor di dunia, dan banjir rutin terjadi di beberapa kampung di Kecamatan Bale Endah dan Dayeuhkolot. Usaha untuk mengembalikan peranan sungai Citarum beserta kepentingan menghindari bencananya ternyata sudah dan terus mengemuka, sampai dengan adanya Citarum Roadmap atau Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (ICWRMIP). Banyak strategi yang sudah disusun oleh mereka yang terlibat - disebut pemangku kuasa - lengkap dengan taksiran biaya program itu, yang berkisar di 3.5 juta dolar AS. Tapi, kenapa tidak terasa ada perubahan? Bagaimana agar terjadi suatu tindakan nyata yang kentara dan berbukti, sehingga kita tahu bahwa telah terjadi suatu usaha untuk menyelamatkan sungai yang dulu menjadi kebanggaan warga Bandung itu? Sebagai orang awam, kita bisa melihat salah satu penyebab sengsaranya Sungai Citarum -dan sungai-sungai di kota besar lainnya dengan teknologi. Kita manfaatkan Google Earth, dan cari Sungai Citarum. Perhatikanlah sekeliling sungai itu, jangan terlalu jauh, cukup yang berada di kota Bandung saja. Di sana kita akan melihat beberapa daerah yang sangat padat, baik persis berada di tepi sungai ataupun beberapa kilometer dari sungai. Dan di satu daerah, kita dapati area yang cukup luas yang berwarna perak. Itulah atap-atap pabrik-pabrik - seperti dalam gambar berada di Dayeuhkolot. Pemukiman dan lahan industri. Dua hal inilah yang secara tidak sadar justru memegang peranan dominan dalam kerusakan sungai, baik itu pemukiman dan industri yang kentara dekatnya atau tidak. Masalahnya terletak pada berkurangnya luasan bumi yang terekspose ke udara secara signifikan, karena terhalangi atap rumah dan pabrik secara masif. Berkurangnya ekspose bumi terhadap udara berarti berkurangnya area resapan air atau berkurangnya volume air yang langsung diresap bumi jika hujan. Dan itu berarti juga bertambahnya volume air secara signifikan mengalir di muka bumi tidak terserap tanah dan menjadi air permukaan. Air permukaan akan makin tidak terserap bumi karena teknologi yang kedap air mulai diterapkan, seperti jalan berbeton atau beraspal. Lalu, menderitalah sungai-sungai kecil menerima limpahan air permukaan yang jauh melampaui kapasitasnya. Dan menderita dari segala deritalah sungai Citarum sebagai induk sungai-sungai kecil itu. Penderitaan sungai Citarum diperparah dengan tercemarnya sungai, baik sungai induk atau malah dominannya sungai anak lebih menderita, karena limbah pemukiman dan industri. Penderitaan tidak berakhir di sana, karena tanpa tahu malu manusia kemudian menyalahkan Sungai Citarum sebagai penyebab banjir dan  penyakit yang ditimbulkannya. Pada dasarnya hanya ada dua kunci keberhasilan penyelamatan Sungai Citarum. Dua saja, dan biarkan yang lainnya - yang secara teknis mungkin lebih valid - untuk mengekor kedua kunci tersebut. Kedua kunci itu adalah: ketegasan Pemerintah dalam menegakkan aturan dan partisipasi atau kesadaran masyarakat. Ketegasan Pemerintah Kita yakini bahwa banyak orang pintar di pemerintahan kita, dan mengerti serta peduli terhadap penderitaan Sungai Citarum. Yang diperlukan sekarang adalah keberanian serta ketegasan pemerintah dalam menciptakan peraturan yang ramah lingkungan dan tegas pula dalam menegakkannya. Buatlah rencana tata ruang dan tata wilayah yang unggul dari segala segi, termasuk lingkungan, dengan memanfaatkan ahli-ahli yang begitu banyak di tatar Pasundan. Dan tegakkan peraturan itu dengan tegas. Jika sebuah industri tidak menyediakan rencana sistem penyerapan air sebagai pengganti atap pabrik yang luas, dan hanya mengandalkan atau mengalirkan air permukaan ke saluran drainase kota, janganlah beri ijin pembangunannya. Demikian pula jika sebuah industri tidak memiliki pengolah limbah, janganlah beri ijin. Tegaslah. Jika industri itu sudah berdiri, tegaslah juga bertindak, bukan dalam bentuk penalti berupa uang denda saja, tetapi denda dengan tetap harus membuat sistem pengganti peresapan air tanah, baik seperti sumur resapan atau water tank dan pengolahan limbah yang sesuai standar. Singkirkan segala kepentingan ekonomi sesaat, apalagi kepentingan ekonomi hanya untuk segelintir golongan dan melalui cara tidak patut. Jika pemukiman berada di daerah resapan air, tegakkan aturan agar daerah itu tidak dijadikan pemukiman. Berikan masyarakat sebuah ketegasan dengan pengetahuan latar belakang kebijakan itu dan ajaklah masyarakat untuk mengerti. Sekali peraturan diterabas dan diabaikan, maka akan menjadi tendensi untuk terjadinya pelanggaran lagi. Pilahlah segi penegakan peraturan dengan sisi 'manusiawi', bukan karena peraturan itu tidak manusiawi, tetapi sisi manusiawi itu pun menjadi tugas pemerintah tersendiri untuk menyediakan lahan pemukiman yang tepat. Lagipula penegakkan aturan pun sebenarnya utuk melindungi rakyat sendiri, baik saat ini - sehingga tidak menjadi korban banjir tiap saat karena memang berada di tanah cekungan yang mau tidak mau akan terendam, dan utamanya untuk anak cucu kita. Partsipasi masyarakat Masyarakat Indonesia dasarnya adalah masyarakat yang santun dan manut. Dan mereka akan mengikuti apa pun instruksi pemerintah jika hal itu akan membawa kebaikan kepada masyarakat pula. Yang dibutuhkan adalah ketegasan dan konsistensi pemerintah serta kebersihan (ketidakmenyelewengan) pemerintah atau aparatnya dalam penegakan aturan tersebut. Karenanya, kita bisa mengajak serta masyarakat untuk mencintai lingkungan dari mulai yang kecil, seperti jangan membuang sampah sembarangan (seperti sudah terlalu sering dikupas), pemilahan sampah, mengurangi penggunaan plastik, melakukan penghijauan, dan tidak menghuni bantaran sungai.

13037958011361642968
13037958011361642968
Dan satu lagi yang penting untuk 'menyelamatkan' Sungai Citarum: membuat lubang resapan bipori atau biopori di lingkungan rumah masing-masing. Lubang bipori ini bisa dibuat secara sederhana, tetapi bermanfaat besar dalam memberikan area rerapan air. Pembuatan lubang ini bisa memanfaatkan institusi RT atau RW, dan bisa dilakukan secara bersama. Pemerintah bersama para ahli cukup memberikan dukungan teknis dan penegakan aturan sehingga ide ini tidak hanya berada dalam tataran seremonial dan wacana, tetapi sudah lebih jauh ke tataran implementasi. Lakukanlah sebuah Program sejuta lubang biopori, seperi yang dicanangkan PLN Distribusi Jawa Barat tahun 2009 yang lalu, namun ikutilah dengan pengawasan, penegasan terhadap implementasinya. Insya Allah, jika dua hal kunci itu bisa dilakukan, hal-hal teknis lainnya akan mengiringi. Meskipun kita bukanlah Sangkuriang yang bisa membuat perahu untuk membendung Citarum dalam semalam , yakinilah kita bisa menyelamatkan Sungai Citarum atau sungai-sungai lainnya secara bertahap. Bukankah pepatah bicara: alah bisa karena biasa. Kita juga bisa teruskan pepatah itu dengan: kita bisa karena bersama. Indah bukan. (sstt... pepatah itu saja diadopsi Abang Obama: "yes, we can" atau "together, we can"). Namun jika dua hal kunci itu tidak bisa dilakukan, kita seperti membentangkan kain kafan kematian sungai Citarum (dan kain kafan kepedulian kita?). Cag, 25 April 2011 Foto-foto di atas diambil dari Google, dipakai oleh beberapa web-blog Sengaja tidak menampilkan foto betapa kotornya Sungai Citarum, karena saya masih menyimpan harapan Citarum bersih. Silakan di-google untuk mereka yang ingin melihatnya. Tulisan sebelumnya:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun