Berkunjung ke Danau Toba, tempat yang belum pernah dikunjungi, membawa sebuah kebanggaan. Kebanggaan akan perbedaan yang tidak dipertentangkan. Kebanggaan akan perbedaan yang tidak ditonjolkan. Kebanggaan akan perbedaan yang justru menjadi kekayaan.
Saya, USA – Urang Sunda Asli. Berbeda dari segi etnis dengan empat orang rekan seperjalan dari tanah Medan – Batak. Berbeda juga dengan dua orang dari tanah Palembang. Juga dua dari Jawa Timur dan tidak lupa Jakarta.
Sebagian campuran etnis, termasuk etnis CIna. Semua berbeda, seperti berbedanya sifat dan karakter tiap individu. Apakah lalu perbedaan itu dijual untuk dipertentangkan? Tentu tidak.
Malah perbedaan itu membuat kita seperti bersaudara. Komunikasi terjalin lancar dengan berbagai bumbu: guyon, kesal, lucu, serius atau santai. Komunikasi, yang membuat bersatu.
Di Danau Sidihoni, “Danau di atas danau”, kami sapa seorang ibu yang sedang mencuci baju dengan dua orang gadis yang ceria. Tanpa malu dan riang remaja putri itu membalas sapaan, lanjut bercanda, lalu ketawa. Komunikasi berjalan lebih dari yang diduga, ketika dengan akrab mereka ingin berfoto bersama. Juga dengan saudara prianya. Padahal sejatinya mereka berbahasa ibu Batak, dan saya USA -Urang Sunda Asli. Keukeuh.
Di perjalanan. Berkeliling dari mulai Siborong-borong, Balige terus memutar danau, lewat Sipiso-piso, Silalahi sampai balik lagi ke Balige bersama Bang Donald Aritonang yang membawa mobil, kami saling bercerita. Dari yang serius semacam politik dan filsafat serta agama, sampai dengan yang remeh temeh garing penuh tawa dan canda.
Mobil kami lalu menjadi mobil paling ceria dalam rombongan itu. Komunikasi berjalan tanpa cela. Nada bicara Batak yang ngegas bukan halangan bagi saya, orang Sunda yang menjadi paham bahwa nada bicara hanyalah satu hal yang berbeda yang tidak perlu ditakuti dan dipertentangkan. Karena karakter dan persaudaraan kami justru berjalan. Dalam nuansa yang satu.