Belajar di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja
Kata-kata itu terpampang di banner portal Rumah Belajar Kemendikbud. Ya betul. Di mana saja. Kapan saja. Dan dengan siapa saja.
Belajar sebagai sebuah proses pendidikan umumnya ditekankan kepada tiga unsur: anak, sekolah dan pemerintah. Sebuah cara pikir yang terlalu mainstream cenderung stagnan. Betul apa yang ditekankan oleh Mendikbud bahwa dunia pendidikan menjadi milik dan tanggung jawab bersama. Itulah esensi dari kata semesta yang menurut KBBI berarti seluruh; segenap; semuanya. Jadi semua hal dilingkungan kita itu menjadi unsur yang bertanggung jawab akan pendidikan. Namun, bagaimanakah agar semesta itu bisa mendukung pendidikan. Konsep seperti apakah yang bisa mendukung ide ini?
Pendidikan itu menyenangkan
Dalam sebuah kesempatan, Pak Anies Baswedan pernah berkata bahwa sekolah itu harus bisa menyenangkan siswa. Menyenangkan atau fun biasanya bisa dilihat dari aktivitas di taman, bukan. Jadi, apakah konsep pendidikan menyenangkan itu adalah mendekati pendidikan di sekolah sebagai sebuah sekolah taman? Wah, usul yang terus terang sangat menarik dan perlu dipertimbangkan Kementrian Pendidikan. Alangkah indahnya konsep itu jika dilengkapi juga dengan konsep terbaliknya: menjadikan taman sebagai tempat pendidikan.
Terpesona di kala pandangan pertama: Taman Kota
Suatu saat, kami – penulis dan Ade, si bungsu – mampir ke Taman Kota BSD.

Taman Kota itu membuat penulis terpesona pada pandangan pertama. Selain segar dengan fasilitas cukup lengkap, ternyata Taman Kota itu penuh dengan kebahagiaan dan wajah pengunjung yang cerah tersenyum.
Agen perekat dan pendidikan keluarga

Sedikit merenung, penulis menyadari bahwa ini adalah sebagian dari pendidikan terhadap anak. Jika penulis saat itu mandul ide dan pikiran, juga diam tanpa bicara dan membiarkan anak main sendirian, bisa jadi si Ade akan sangat lama bisa melompati rintangan itu atau bahkan berujung dia tidak mampu melakukannya. Ditambah dengan melihat wajahnya yang puas setelah melewati tiga rintangan itu, dan bertepuk tangan bersamaan, priceless. Di sini juga penulis berhasil mengajari dia untuk tidak takut untuk kotor, yang berujung tanpa sadar penulis memberi pendidikan higienis.
Di Taman Kota itu, penulis temukan kejadian-kejadian yang mirip, kala orang tua membimbing anak melakukan sesuatu dan lalu merayakan keberhasilan pencapaian anaknya dengan tertawa bahagia. Terasa sebuah kedekatan keluarga, kepemimpinan seorang ayah, kelembutan seorang ibu, apresiasiterhadap anak dan semangat anak yang tumbuh. Setelah itu, sang orang tua – seperti juga penulis – tinggal menyaksikan si anak melakukan aktivitasnya secara mandiri dan percaya diri.
Tidak hanya itu, nyata juga sebuah pendidikan tenggang rasa, kala orang tua menegur anaknya yang memonopoli alat permainan sendirian, dan tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk menggunakannya.
Interaksi dalam komunitas
Bersebelahan dengan rintangan segitiga itu, penulis lebih tertarik dengan “gerombolan” anak remaja yang berkumpul di area penuh rangkaian palang besi. Anak muda itu ceria, bercanda bersama rekan seusia dan melakukan aktivitas olahraga: memanjat palang besi. Itulah komunitas kalestenik Calistnation. Komunitas anak muda penggemar olahraga penguat badan dengan beban berat sendiri.
Sepintas tidak ada yang menarik dari komunitas ini selain wajah-wajah mereka yang cenderung good looking dengan badan ramping. Tapi, penulis temui keramahan dari mereka saat didekati, kesediaan menjawab pertanyaan, lalu sikap bahu membahu di antara pertemanan khas anak muda itu dalam melakukan aktivitas olah raga. Mereka tidak segan berbagi teknik dan cara berolahraga yang menarik dan ceria. Juga tidak ogah untuk menerima siapa saja untuk bergabung, termasuk mereka yang ber”masalah” dengan berat badan. Siapa nyata, komunitas ini telah sedikit demi sedikit membantu para remaja atau anak muda dari sebuah tekanan “bullying” dengan memberikan latihan gratis secara bersama sehingga memiliki kepercayaan diri yang lebih.

Masyarakat yang merekat
Sementara itu, aktivitas orang dewasa di area pintu masuk dengan berolahraga pernafasan pun menawarkan sesuatu yang lain. Mereka yang dominan dari etnis Tionghoa itu ternyata memberi pesan kuat: persatuan. Bukankah mereka melakukan olahraga itu dengan rekan-rekannya dari etnitas lain dan agama lain, terlihat dari beberapa orang ibu-ibu berjilbab. Mereka tidak melakukan gerakan olah raga sendiri-sendiri, melainkan bersama-sama, lengkap disertai canda tawa. Akrab. Rukun. Berbeda-beda tetapi satu. Beneran. Bahkan, kita akan jumpai keramahan mereka dengan tawaran “ayo, gabung saja, seru kok” kepada sesiapa yang kelihatannya tertarik. Tawarannya diseringi senyum.

Ah, jadi ingat lagu Frank Sinatra – What a Wonderful World: “The colors of the rainbow, So pretty in the sky. Are also on the faces, Of people going by, I see friends shaking hands. Saying, "How do you do?" They're really saying, "I love you". Ternyata itu adalah bagian dari pendidikan langsung atau tak langsung memahami keragaman, keberbedaan yang malah bersatu. Pendidikan bagaimana seorang anak– di tingkat manapun berada, memahami bagaimana berinteraksiterhadap seseorang yang terlihat berbeda dari dirinya.
Kemitraan yang simbiosis mutualisme
Jaman kini, bukan saatnya lagi sebuah bisnis mencari keuntungan finansial semata. Kini adalah jaman kemitraan, di mana sebuah bisnis atau perusahaan menempatkan sikap berbagi sebagai bagian dari strategi. Berbagi sebagai mitra sebuah perusahaan terlihat juga di Taman Kota ini.

Andil Pemerintah Daerah yang tidak bisa diabaikan begitu saja
Jika terkait pendidikan, terkadang perhatian terlalu fokus kepada Dinas Pendidikan atau Kemendikbud saja. Padahal mau tidak mau, kita harus apresiasi apa yang sudah dilakukan Pemda di bagian lainnya. Bukankah tersedianya sebuah Taman Kota adalah hasil dari sebuah “tekanan” atas pemenuhan regulasi tentang fasilitas umum dan fasilitas sosial terhadap pengembang. Belum lagi jika Dinas Taman ikut berperan dengan melibatkan Dinas Kebersihan pula. Dan pendidikan akan tampak dari Pemerintah Daerah jika apa yang dilakukan jajarannya tidak hanya sebatas pemenuhan kewajiban saja tetapi dilanjutkan dengan menjaga dan mengedukasi masyarakat untuk turut andil melakukannya. Hal ini bisa dilakukan dengan memberi wewenang lebih kepada para petugas di lapangan, seperti petugas kebersihan dan petugas pertamanan, untuk menegur dan memberi edukasi kepada masyarakat yang melakukan sebuah kesalahan, semisal menginjak rumput dan membuang sampah sembarangan.
Pendidikan Semesta Generasi Z
Melihat penjelasan di atas, terlihat bahwa konsep pendidikan secara menyeluruh (semesta) bisa dilakukan dari Taman Kota. Semua unsur pendidikan di luar tiga unsur mainstream (anak, sekolah, pemerintah / kurikulum) terlibat. Unsur keluarga / orang tua, komunitas, masyarakat, mitra dan pemerintah daerah. Unsur-unsur itu terlihat pada homepage Kemendikbud.org.
Lalu, bisakah langsung diterapkan Konsep Pendidikan Semesta dari Taman Kota sebagai sebuah gerakan?
Belum tentu. Ada satu unsur lagi yang rasanya harus dilibatkan agar konsep semestanya lebih lengkap. Itulah unsur teknologi. Iya, unsur teknologi yang menjadi ciri sebuah generasi kekinian, yaitu Generasi Z.
Bagaimana menempatkan teknologi dalam sebuah Taman Kota?
Menyediakan free-wifi
Menyediakan dan memperbanyak display
Menyediakan dan memperbanyak permainan teknologi interaktif
Ketiga teknologi di atas seyogyanya dilakukan untuk mendukung pendidikan dalam arti ada batasan akses dan konten yang lebih fokus. Salah satu sumber topik yang bisa langsung diterapkan adalah website Kemendikbud, di mana terdapat berbagai sumber baik berupa bacaan-bacaan digital, video, / live streaming televisi edukasi, showcase karya-karya guru dan komunitas, peta budaya, wahana jelajah angkasa, pengembangan keprofesian berkelanjutan, laboratorium maya dan bank soal. Untuk permainan teknologi interaktif, kita bisa mengambil potensi-potensi hebat anak-anak muda yang bergerak di bidang game development yang concern dengan pendidikan.

Gerakan Pendidikan Semesta dari Taman Kota
Penulis yakin, bahwa jika semua pihak atau unsur melakukan role atau peranannya masing-masing secara ikhlas dan serius, dan lalu bersinergi, maka dampak yang dihasilkannya menjadi dahsyat. Bukankah pendidikan yang dilakukan dengan fun, apalagi dilakukan di lingkungan yang segar, itu berdampak dahsyat terhadap perkembangan jiwa, raga, pemikiran dan karakter? Jika hal itu dilakukan, sedikit demi sedikit karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan berkarakter khas Indonesia – yaitu Pancasila, akan muncul. Dan jika itu terjadi, percayalah, Indonesia akan menjadi negara yang besar dan kuat.
Tinggal sekarang, beranikah pemerintah membuat sebuah regulasi untuk memperkuat hal ini?
Ya, memang peran sentral ada di pemerintah, karena pemerintahlah yang memegang kuasa pemerintahan, yang bisa melakukan terobosan untuk terciptanya hal ini. Tanpa keinginan baik pemerintah (dan regulator tentunya), gerakan pendidikan semesta dari Taman Kota hanyalah sebuah ide.
Dreams don’t work unless you do
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI