Sedikit merenung, penulis menyadari bahwa ini adalah sebagian dari pendidikan terhadap anak. Jika penulis saat itu mandul ide dan pikiran, juga diam tanpa bicara dan membiarkan anak main sendirian, bisa jadi si Ade akan sangat lama bisa melompati rintangan itu atau bahkan berujung dia tidak mampu melakukannya. Ditambah dengan melihat wajahnya yang puas setelah melewati tiga rintangan itu, dan bertepuk tangan bersamaan, priceless. Di sini juga penulis berhasil mengajari dia untuk tidak takut untuk kotor, yang berujung tanpa sadar penulis memberi pendidikan higienis.
Di Taman Kota itu, penulis temukan kejadian-kejadian yang mirip, kala orang tua membimbing anak melakukan sesuatu dan lalu merayakan keberhasilan pencapaian anaknya dengan tertawa bahagia. Terasa sebuah kedekatan keluarga, kepemimpinan seorang ayah, kelembutan seorang ibu, apresiasiterhadap anak dan semangat anak yang tumbuh. Setelah itu, sang orang tua – seperti juga penulis – tinggal menyaksikan si anak melakukan aktivitasnya secara mandiri dan percaya diri.
Tidak hanya itu, nyata juga sebuah pendidikan tenggang rasa, kala orang tua menegur anaknya yang memonopoli alat permainan sendirian, dan tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk menggunakannya.
Interaksi dalam komunitas
Bersebelahan dengan rintangan segitiga itu, penulis lebih tertarik dengan “gerombolan” anak remaja yang berkumpul di area penuh rangkaian palang besi. Anak muda itu ceria, bercanda bersama rekan seusia dan melakukan aktivitas olahraga: memanjat palang besi. Itulah komunitas kalestenik Calistnation. Komunitas anak muda penggemar olahraga penguat badan dengan beban berat sendiri.
Sepintas tidak ada yang menarik dari komunitas ini selain wajah-wajah mereka yang cenderung good looking dengan badan ramping. Tapi, penulis temui keramahan dari mereka saat didekati, kesediaan menjawab pertanyaan, lalu sikap bahu membahu di antara pertemanan khas anak muda itu dalam melakukan aktivitas olah raga. Mereka tidak segan berbagi teknik dan cara berolahraga yang menarik dan ceria. Juga tidak ogah untuk menerima siapa saja untuk bergabung, termasuk mereka yang ber”masalah” dengan berat badan. Siapa nyata, komunitas ini telah sedikit demi sedikit membantu para remaja atau anak muda dari sebuah tekanan “bullying” dengan memberikan latihan gratis secara bersama sehingga memiliki kepercayaan diri yang lebih.

Masyarakat yang merekat
Sementara itu, aktivitas orang dewasa di area pintu masuk dengan berolahraga pernafasan pun menawarkan sesuatu yang lain. Mereka yang dominan dari etnis Tionghoa itu ternyata memberi pesan kuat: persatuan. Bukankah mereka melakukan olahraga itu dengan rekan-rekannya dari etnitas lain dan agama lain, terlihat dari beberapa orang ibu-ibu berjilbab. Mereka tidak melakukan gerakan olah raga sendiri-sendiri, melainkan bersama-sama, lengkap disertai canda tawa. Akrab. Rukun. Berbeda-beda tetapi satu. Beneran. Bahkan, kita akan jumpai keramahan mereka dengan tawaran “ayo, gabung saja, seru kok” kepada sesiapa yang kelihatannya tertarik. Tawarannya diseringi senyum.

Ah, jadi ingat lagu Frank Sinatra – What a Wonderful World: “The colors of the rainbow, So pretty in the sky. Are also on the faces, Of people going by, I see friends shaking hands. Saying, "How do you do?" They're really saying, "I love you". Ternyata itu adalah bagian dari pendidikan langsung atau tak langsung memahami keragaman, keberbedaan yang malah bersatu. Pendidikan bagaimana seorang anak– di tingkat manapun berada, memahami bagaimana berinteraksiterhadap seseorang yang terlihat berbeda dari dirinya.