Mohon tunggu...
AM Panjaitan
AM Panjaitan Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Relawan perang melawan Mas Joko Klemer dan Batara Kalla

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kenapa Tempo Pro Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat?

25 Juni 2014   03:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:11 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

b. Cover tersebut jelas tidak profesional sesuai ketentuan Pasal 2 Kode Etik Pers sebab gambar yang dimuat dalam majalah tidak ditampilkan secara berimbang, hanya gambar Jokowi meniup koran yang dibuat seperti obor yang bernyala dan disandingkan dengan kata "Prahara".

c. Sebagaimana dijelaskan di atas, cover tersebut telah menerapkan asas praduga bersalah, telah menghakimi dan tidak berimbang sehingga melanggar Pasal 3 Kode Etik Pers.

d. Wartawan Indonesia tidak boleh membuat berita yang bohong dan fitnah; dan sementara belum ada bukti bahwa Obor Rakyat dibuat oleh kubu Prabowo-Hatta Rajasa tapi Tempo sudah menampilkan cover yang menuduh keduanya sebagai pelaku.

Penjabaran pelanggaran hukum dan kode etik dalam artikel ini memang sengaja difokuskan pada cover sebab bila saya membahas isinya maka bisa-bisa artikel ini menjadi semacam draft untuk menggugat Tempo ke Dewan Pers dengan alasan Tempo telah melakukan viktimisasi melalui pemberitaan dengan menyalahgunakan kebebasan pers yang diberikan. Dalam hal ini Tempo bisa dimasukan kepada kategori invisible criminal karena bisa merugikan masyarakat melalui tindakan main hakim sendiri tanpa perlu takut dicap sebagai pelaku kriminal; apalagi Putusan Mahkamah Agung No. 3173 K/Pdt/1991 tanggal 28 April 1993 dalam kasus Anif v. Surat Kabar Harian Garuda telah memberikan pintu masuk bagi pers untuk tidak memberitakan kebenaran.

Saya pikir Tempo harusnya juga paham bahwa kebebasan pers terkait erat dengan hak sipil masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ("UU HAM") bahwa setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Pengaturan kebebasan memperoleh dan menyampaikan informasi juga diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (1) International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi melalui Undang-undang No. 2 Tahun 2005; dan Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights.

Oleh karena itu kasus tabloid Obor Rakyat sesungguhnya penting untuk diteliti sebagai studi dalam kontras. Di satu sisi orang-orang Tempo baik di dalam maupun diluar Tempo sangat aktif memperjuangkan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat serta hak warga menerima informasi sehingga kuatir Prabowo akan mengebiri hak asasi ini bila menjadi presiden, akan tetapi di sisi lain Tempo sangat antusias dalam mendukung kriminalisasi kebebasan berpendapat dan berusaha "menyensor" hak orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia, dan dalam hal ini sarana tersebut berupa tabloid Obor Rakyat.


Benar, sekalipun tabloid Obor Rakyat mungkin bukan merupakan produk pers, namun dia merupakan sarana kebebasan berpendapat dari orang-orang yang berada di belakangnya yang dilindungi oleh Pasal 28F Perubahan Kedua UUD'45 yang berbunyi: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia". Dengan demikian Tempo sesungguhnya telah mendukung kriminalisasi terhadap sebuah hak yang dijamin sebagai suatu hak asasi dalam konstitusi kita yang juga adalah wujud dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Malah dapat disimpulkan bahwa Tempo baik sengaja maupun tidak sengaja telah merusak dan mendekonstruksi alam demokrasi di Indonesia dengan menggunakan cara atau metode rezim otoriter di mana orang tidak bebas berpendapat karena ada budaya "imbauan"; "budaya telepon"; "intimidasi"; "sensor oleh tamu tidak diundang", misalnya melalui cara kriminalisasi terhadap pendapat yang tidak disukai.

Saya paham bahwa Tempo tidak berada dalam suatu vacuum social sebab Tempo berinteraksi dengan pemilik modal dan pendirinya yang merupakan pendukung Jokowi-JK dan Tempo telah menjadi bagian dari sistem ekonomi kapitalisme dan baik sadar atau tidak sadar telah menjadi juru bicara dari kelompok yang mewarisi sistem militerisme, dan otoriter yang mereka lawan. Saya paham kepentingan Goenawan Mohamad sering menjadi kepentingan Tempo, dan tidak perlu naif dalam hal ini dengan berlindung di balik jargon "independen" sehingga Tempo sering bias secara politik, ekonomi dan ideologi karena mengikuti politik, ekonomi dan ideologi yang dianut oleh Goenawan Mohamad.

Masalahnya adalah beberapa tindakan Goenawan Mohamad mengingatkan kita pada sejarah pahit pers ketika ada Persbreidel Ordonantie, misalnya ketika Goenawan Mohamad mengirim sms marah kepada Surya Paloh terkait berita di Media Indonesia yang tidak dia sukai karena memuat cerita pesta alkohol dalam "acara budaya" yang dia adakan sehingga berakibat wartawan yang menulis mengundurkan diri; atau ancaman Goenawan Mohamad kepada Kompasiana karena tulisan akun bernama Jilbab Hitam yang dirasa merugikan Tempo. Bukankah tindakan Goenawan Mohamad ini mengingatkan para jurnalis senior masa di mana "budaya telepon" ke kantor pers karena pemberitaan sedang marak-maraknya?

Sangat ironis bahwa Tempo mendukung kriminalisasi Obor Rakyat sebab mungkin Tempo lupa bahwa trend di dunia sekarang ini adalah dekriminalisasi pasal pencemaran nama baik dan pendapat Andrew Chigovera dalam Manual IFJ halaman 6: "Di dalam masyarakat demokratis, aktivitas-aktivitas pejabat publik harus terbuka terhadap pengawasan publik. Pasal pidana mengenai pencemaran nama baik mengintimidasi individu-individu untuk tidak mengungkap kebobrokan para pejabat publik dan oleh karenanya pasal semacam ini bertentangan dengan kebebasan berpendapat," tapi Tempo malah mendukung kriminalisasi kebebasan berpendapat, padahal manual ini diterbitkan oleh AJI, organisasi wartawan yang didirikan oleh Goenawan Mohamad dan sangat dekat dengan personil Tempo.

Artikel ini akan saya tutup dengan mengutip perkataan Thomas Jefferson kepada Elbridge Gerry: "I am..for freedom of the press and against all violations of the Constitution to silence by force and not by reason the complaints or criticisms, just or unjust, of our citizens against the conduct of their agents.." Jadi mengapa Tempo mendukung kriminalisasi kebebasan berpendapat dan lebih penting lagi mendukung pihak calon presiden dan calon wakil presiden yang menghalalkan kriminalisasi kebebasan berpendapat dengan tujuan membungkam keluhan atau kritik, baik benar atau tidak benar dari warga masyarakat terhadap pejabat mereka, terlebih lagi calon presiden dan wakil presiden mereka yang mungkin memerintah negara ini untuk lima tahun mendatang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun