Stunting adalah isu kurang gizi kronis yang timbul akibat asupan gizi yang tidak mencukupi dalam waktu yang cukup lama dikarenakan pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat mulai terjadi sejak janin dalam kandungan dan baru tampak saat anak mencapai usia dua tahun (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020). Tingkat kesehatan masyarakat bisa dinilai dengan menggunakan indikator, salah satunya status gizi pada balita (Anggari et al. , 2020). Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang berdampak pada 155 juta anak di bawah lima tahun (Eshete et al. , 2020). Jika dibandingkan dengan batas "nonpublic health problem" menurut WHO, masalah stunting mencapai angka 20%, jelas ini menyebabkan hampir semua negara di dunia menghadapi permasalahan kesehatan masyarakat (Nova and Afriyanti, 2018). Stunting adalah suatu kondisi yang ditandai dengan tinggi badan yang pendek akibat kekurangan gizi kronis (Apriningtyas and Kristini, 2019), serta pola makan anak yang berdampak pada status gizi anak yang kurang (Arini and Faradilah, 2020). Pertumbuhan yang terhambat dapat menjadi faktor risiko penyakit, kematian, gangguan perkembangan otak, motorik, dan hasil yang buruk di masa depan bagi anak. Tingginya angka anak stunting di masyarakat menunjukkan bahwa masih terdapat masalah (Apriningtyas and Kristini, 2019).Berat dan tinggi badan bayi merupakan parameter penting dalam pertumbuhan dan perkembangan (Umiatin et al. , 2019). Hasil kajian data cross-sectional dari negara berkembang menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dapat membantu mencegah stunting, wasting, serta mengurangi peningkatan morbiditas dan mortalitas (Haschke et al. , 2019). Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko stunting positif (0,334) dan signifikan terjadi di kawasan pemukiman liar perkotaan dan kondisi tersebut tetap ada meskipun telah mengontrol kebersihan air, sanitasi, serta listrik (Otterbach and Rogan, 2019). Didukung dengan kajian yang menyatakan bahwa dibutuhkan intervensi Water, Appropriate Sanitation, And Hygiene (WASH) untuk menjaga kesehatan individu dan mencegah kekurangan gizi (Akseer et al. , 2020). Stunting masih menjadi permasalahan gizi di Indonesia karena prevalensinya yang tinggi. Pada tahun 2018, Kemenkes RI melakukan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) mengenai Prevalensi Stunting. Menurut penelitian tersebut, angka stunting atau anak tumbuh pendek menurun dari 37,2% pada Riskesdas 2013 menjadi 30,8% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Prevalensi balita stunting di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2018 adalah 17,7%, di mana angka ini lebih rendah dibandingkan dengan angka nasional (Dinas Kesehatan Provinsi, 2020).
Faktor penyebab dari kejadian stunting pada level 1 (Individu) bahwa balita yang mengalami stunting lebih banyak berjenis kelamin laki-laki, panjang badan <48 cm. Anak kelamin laki-laki lebih besar peluangnya mengalami stunting hal ini dikarenakan laki-laki lebih aktif secara fisik dan berkembang lebih banyak energi yang seharusnya disalurkan untuk meningkatkan pertumbuhan, berat bayi lahir rendah kemungkinan akan terjadi berat badan kurang cenderung tetap sampai anak usia dini, hal ini diakibatkan karena faktor ibu selama kehamilan sudah mengalami kekurangan gizi (Wicaksono and Harsanti, 2020). Dilevel 2 (Rumah tangga), studi ini memperlihatkan bahwa Anak- anak yang tinggal di rumah kumuh memiliki peluang lebih tinggi untuk kerdil karena banyak paparan yang dapat meghambat penyerapan nutrisi pada anak-anak. Pendidikan orang tua dapat mempengaruhi kejadian stunting, karena pendidikan ibu yang tinggi akan mempengaruhi pola asuh orang tua dalam memberikan makanan dan perawatan pelayanan kesehatan, serta pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan ketahanan pangan yang lebih tinggir pendapatan atau indeks kekayaan rumah tangga yang lebih tinggi dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan rumah tangga untuk membeli dan mengkases kualitas yang baik seperti makanan, layanan perawatan kesehatan dan fasilitas sanitasi yang lebih baik serta air minum yang aman (Wicaksono & Harsanti, 2020). Dilevel 3 (Komunitas) Posyandu memiliki efek kontekstual yang kuat pada stunting, dimana posyandu memiliki kegiatan yang mendukung dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat, yang memfasilitasi pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita yang dilakukan setiap bulan (Indriani et al., 2018); (Sajalia et al., 2018)
Upaya pencegahan stunting pada anak berusia 6-59 bulan, memerlukan langkah-langkah prioritas dalam mendukung pelaksanaan pemberian gizi seperti:
1. meningkatkan status gizi ibu selama masa kehamilan.
2. meningkatkan kepatuhan dalam asupan zat besi dan asam folat.
3. mempromosikan praktik pemberian makanan yang optimal untuk anak dalam 1. 000 hari pertama kehidupan.
4. merancang tindakan intervensi yang berfokus pada konseling anggota keluarga untuk memberikan prioritas pada makanan anak dan mencegah penyakit diare pada anak berusia 6-59 bulan (Eshete et al. , 2020).
Untuk menangani kasus stunting, masyarakat desa seperti tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, pemerintah desa, lembaga desa, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), karang taruna, kader posyandu, kader desa, bidan desa, guru PAUD serta masyarakat yang peduli terhadap kesehatan dan pendidikan berperan aktif dalam memonitor seluruh sasaran stunting pada 1. 000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI