Mohon tunggu...
Ma'rifatullah My.com My
Ma'rifatullah My.com My Mohon Tunggu... -

terus betrgerak walaupun dalam air keruh...!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

1.226 Harapan Padamu Husnul Khotimah

5 Januari 2014   22:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:07 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ahadpagi yang dingin. di bawah kaki gunung ciremai. pondok pesantren Husnul khotimah manis kidul kuningan. Para santri satu persatu mulai tiba dari berbagai pelosok daerah. Menjemput Asa baru pada mu husnul khotimah. Asa 1.226 santri. seperti masa-masa yang lalu,Musim penerimaan santri baru(PSB) selalu membawa hawa dingin dari puncak ciremai. Semoga harapan santri barukepada husnul khotimah bisa menghangatkan kembali pondok kita tercinta. HK.

Rabu, 16 – januari – 2011

Siang yang menyengat. Saya bergegas masuk ke kamar setelah pulang darikelas. Pelajaran terakhirbahasa Indonesia. Seperti biasa pak sahana banyak bercerita. Sampai akhirnya bel pun berbunyi tanda jam pelajaran berakhir.Kebetulan saya menjadimusyrif di kamar hunain 9, yang berisikan santri kelas 1 aliyah, ketika saya masuk kamar terlihat mereka sedang duduk – duduk di kasur sambil ngobrol ngalur ngidul plus keluh kesah tentang banyak hal tentang penjara suci yang sedang mereka huni. Susah izin keluar pondok, ga boleh bawa barang elektronik, bagian tarbiyah yang galak dan banyak hal lainnya yang meraka tidak setuju.

Sayapun memilih duduk di antara mereka, mencoba meredam kegelisahan yang mereka rasakan. banyak yang saya jelaskan,tapi tetap saja mereka belum bisa menerima. Banyak hal yang membuat saya bertanya-tanya kenapa ada ketakutan , kebingungan, dan kegelisahan pada kehidupan mereka sehari – hari selama di pondok ini, yang pada akhirnya berujung pada pelanggaran-pelanggaran, toh bukankah hidup ini pilihan? tanya saya dalam hati. Mereka bebas memilih asal mereka bisa bertanggung jawab atas pilihannya. Bukankah keberadaan mereka di sini adalah sebuah pilihan atas dasar keinginan mereka sendiri??.

Ustadz yang rewel, banyak ngasih tugas, menjadi titk focuskeluhan mereka. Ustadz, ustadz dan ustadz lagi. Pokoknya mereka salah titik!

Saya terus berdialog dengan mereka tapi mereka tetap kekeuh dengan keyakinan mereka bahwa pondok ini membuat banyak peraturan yang tidak baik. Diakhir perbincangan di siang itu saya mengatakan :

“ kalian sebenarnya penakut,kalian takut mengontropeksi diri atau mengkritik diri sendiri. Kalian begitu berani menglihat kesalahan- kesalahan di lingkungan kalian. padahal kunci dari semua permasalahan di pondok iniada pada diri kalian, itupun jika kalian berani? Bukankah hidup ini pilihan? tanyaku meyakinkan. Dengan resiko sebagai takdirnya masing-masing? Kalian memilih mondok ada resikonya, peraturan yang mengekang, segalanya harus tepat waktu, namun jangan lupa juga dengan hal-hal yang positif yang kalian dapatkan dari pondok ini, demikaian juga jika kalian memilih sekolah di luar ada plus minusnya. Tinggal apakah model pengajaran di pondok cocok atau tidak dengan diri kalian.

“sekarang.. lanjut saya. Coba kalian jawab pertanyaan saya, sebenarnya siapa yang membawa kalian ke sini? Tentunya jawabannya bukan ustadz-ustadz yang berada di kantor tarbiyah apalagi di yayasan kan? Ustadz-ustadz tidak pernah memaksa kalian untuk masuk ke pondok ini kan? SebenarnyaJawabannya hanya satu, kalian ke sini atas kemauan orangtua kalian sendiri , dan Kalian telah menjadi korban dari keinginan orantua kalian dan sekarang kalian tidak berani menyalahkan orangtua kalian karena kalian kasihan kepadanya atau takut untuk menyatakan pendapat kalian tentang pondok ini kepad orang tua kalian?!. Akhirnya ust menajdi pelampiasan terakhir yang bisa di salahkan atas ketidak cocokan antara pondok dengan diri kalian. Satu dua orang mulai menyadari kealpaan mereka. Diskusi pun berakhir dengan berkumandangnya adzan dari masjid al husna.

Ketika saya telah menjadi alumni pun saya pernah mendengar dari seorang teman bahwa ada satu orang tua calon wali santri yang sangat menyesal karena anaknya tidak lolos ujian masuk ponpes husnul khatimah.

Mungkin banyak di antara dari calon wali santri/siswa yang terlalu terburu-buru dalam memilih sarana pendidikan berupa menyekolahkan anaknya di pondok atau di sekolah favorit di kotanya tanpa menglihat potensi dasar atau kecocokan anaknya sendiri, sehingga gagalnya anak tersebut dalam menemukan potensi yang terpendam dalam dirinya. Ketergesa-gesaan orang tua dalam memilih sarana pendidkan tanpa komunikasi dengan anak telah menyebabkan si anak frustasi dalam menggapai sesuatu yang tak di impikannya. menglihat ramainya calon wali santri/siswa mendaftarka anaknya di ponpes tertentu atau sekolah favorit tsb telah menjadikan para orang tua yang lain “memaksa “ si anak untuk memilih. sifat latah inilah yabg membuat saya bertanya-tanya :

“Memangnya yang mondok/sekolah siapa pak “?? Anak bapak atau bapak sendiri??

Keluarga(masyarakat) sebagai pondasi pendidikan

Dari 1.226 santri yang mengikuti tes ujian penerimaan santri baru pphk hanya 500 yang di terima. Kurang lebih setengahnya tidak bisa bergabungalias tidak lulus namun, sangat terbur-buru jika kita mengataka yang tidak lolos tersebut mereka adalah manusia yang gagal dalam hidupnya, karena pada proses berjalannya waktu sebenarnya banyak juga santri-santri yang telah di terima di husnul namun pada akhirnya memutuskan untuk keluar atau di keluarkan dan tak jarang bahkan mereka lebih sukses ketika berada di tempat pendidikan yang sesuai dengan potensinya.

System di pondok husnul yang kurang lebih menginduk pada pemerintah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah lain, di sana juga ada UN(ujian nasional), ke sekolah harus memakai seragam, dan juga masih mengandalkan nilai dalam bentuk angka dalam proses penilaian. secara keseluruhan sebenarnya memang tidak jauh berbeda, hanya saja lingkungan di pondok lebih terjaga karena lingkungannya selalu termotivasi untuk saling mengingatkan diantara santri dan ustadz dan selalu tidak lepas dari pengawasan civitas pondok. Sebenarnya kalau fungsi keluarga bisa di maksimalkan sebagai system pembelajaran tentu itu lebih baik, sebagaimana sebuah hadist mengatakan “ al um madrasatun uula”ibu adalah tempat pembelajaran utama, jadi fungsi ibu itu atau keluarga sangat penting sebelum sekolah itu sendiri.

Ivan Illich seorang pemikir pendidkan pernah mengejutkan masyarakat dengan gagasan kontroversinya tentang “deshcooling society” (masyarakat tanpa sekolah).Illich meramalkan bahawa jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan.

Tentunya pendapat tsb atas fakta mengerikan yang terjadi di dunia pendidkan dengan salah satu sarananya yaitu sekolah, kini Sekolah tidaklagi menunjukkan tempat untuk belajar melainkan tempat siswa diarahkan dan di”design” menurut pola yang sudah baku. Dengan demikian, lembaga pendidikan gagal menjalankan tugasnya yang paling dasar yaitu membantu seorang menjadi manusia yang bebas dan merdeka. Sekolah sudah seperti “factory” atau pabrik yang tugasnya hanya mencetak watak-watak manusia A+ dan menolak manusia lain yang hanya mendapat B dan C. Malah yang berstatus D dan F akan terus tersingkir dengan sendirinya.

Sebenarnya Masyarakat atau keluargamampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial dan budaya yang luas tanpa harus terikat dengan wilayah kelembagaan seperti sekolah. artinya dalam keluarga atau masyarakat sekolah sudah tidak diperlukan lagi. Cotoh konkritnya seperti keluarga ibuSepti Peni Wulandani. seorang ibu rumah tangga profesional, penemu model hitung jaritmatika, juga seorang wanita yang amat peduli pada nasib ibu-ibu di Indonesiadengan cara pendidikan pada anank-anaknya yang demokratis dan memberikan kemerdekaan untuk memilih sekolah-sekolah untuk anak-anaknya bahkan beliau memberikansalah satu pilihan agar anak-anaknya tidak sekolahnamun, arti tidak sekolah di sini bukan berati tidak belajar sama sekali. Karena belajar itu tidak di batasi oleh ruang apalagi tempat dan waktu dan pada akhirnya ke tiga anaknya tersebut sangat berprestasi dalam mengolah potensinya dan tentunya bermanfaat bagi orang lain.

Kisah perjuangan ibu Septi Peni Wulandani dalam membesarkan ketiga anaknya sebenarnya sudahcukup meyakinkan kita akan fungsi pendidikan dalam keluarga sekaligus merobohkan mitos pentingnya sekolah dalam keidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, sistem pendidikan sudah sewajarnya tidak di bakukan apa lagi di wajibkan, seperti halnya sekolah yang selama ini sangat tidak efektif dan mendistorsi bakat seseorang, sehingga sekolah hanya menjadi” pabrik” yang hanya meluluskan orang-orang terlatih tapi bukan orang-orang yang terdidik. Semoga!

Sumber :

Sekolah itu Candu by Roem Topatimasang

1.226 Calon Siswa Ikuti Tes di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan. Dakwatuna.com

Ivan Illich. deshcooling society books

INSPIRATIVE HOUSEWIFE STORY .Septi peni wulandani's Blog

Kronologi "Nyontek" Massal di SD Pesanggrahan. Edukasi. Kompas

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun