Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Istri Berhati Bidadari

18 Oktober 2019   16:57 Diperbarui: 18 Oktober 2019   16:58 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Hari ini begitu melelahkan. Begitu masuk ke dalam rumah, saya langsung menghidupkan ac. Duduk selonjoran di sofa sambil menelepon beberapa rekan bisnis agar acara besok berujung sukses. Saya berteriak memanggil istri, meminta segelas teh manis dingin.

Biasanya saat saya pulang kerja, tanpa diminta, dia akan melakukannya. Kenapa senja ini dia melupakannya? "Hello! Orang di rumah ini ke mana, ya?" Astaga! Ternyata saya yang lupa.

Mungkin saya terlalu capek hingga ketiduran. Ketika terbangun, malam sudah jatuh di teras. Pintu depan terbuka lebar dengan hembusan ac yang terbuang percuma. Saya terseok menutup rapat pintu itu, lalu pergi mandi.

Setelah badan terasa agak segar, lapar saya mengular. Hei, tidak ada yang dapat menimbulkan selera di bawah tudung saji? Di situ hanya ada ikan sambal  berbau masam. Ikan sambal saya buang ke tong sampah. Saat itulah saya melihat gundukan piring kotor di tempat cucian.  Kepala saya berdenyut. Amarah saya terlecut. Bagaimana sih Sofi ini, sudah tak ada makanan, piring masih menggunung? Saya berteriak memanggil istri saya itu. Tak ada suara. Oh, lagi-lagi saya lupa.

Saya teringat kali terakhir Sofi berdiri di dekat cucian piring itu. Saya pulang kerja dengan keadaan marah. Saya memang selalu membawa masalah di luar ke dalam rumah. Masalah sepele saja, bila itu berkaitan dengan Sofi, marah saya seakan terbakar.

Kemarin itu, begitu saya pulang kerja, pot bunga berserakan di teras karena laku ayam.  Marah ini mengubun. Semua imbas dari bos yang mengatakan saya tidak becus kerja.

"Kenapa pintu pagar tidak ditutup?"  Saya berkacak pinggang.

Istri saya hanya menjawab kelupaan. Dia bergegas menutup pintu pagar, lalu merapikan pot bunga yang berserakan. Begitu dia kembali untuk melanjutkan pekerjaannya, dia memberi alasan, tadi itu dia buru-buru menuju ke dapur karena belum menyuci piring.

"Jadi, ibu lupa menutup pintu pagar. Tadi arisannya kelamaan. Banyak ibu telat datang," jelas istri saya.

Saya mendadak kliyengan. Tak ingin darah tinggi kumat, saya memilih perang dingin, tak setegoran dengan istri. Saya memilih kamar tidur sebagai benteng. Sebagai tameng, sebuah buku silat yang hanya dibolak-balik ketika istri masuk ke kamar. Saya hanya membisu ketika dia mengatakan semur telor sudah masak. Juga sambal kucai kegemaran saya. Ada juga jengkol penggugah selera. Tentu saja karena masih kesal---kendati perut berkokok---saya menguap lebar-lebar. Hasil akhir saya ketiduran.

Saya baru terbangun karena petugas jaga malam meminta iuran bulanan. Meski pura-pura tersenyum, hati saya meradang melihat jam menunjukkan pukul tujuh lewat. Biasanya Sofi membangunkan saya saat Azan Shubuh. Apa dia mau mengajak perang juga?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun