Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Isa dan Kabut Asap

16 September 2019   13:41 Diperbarui: 16 September 2019   14:57 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi : pixabay/Geralt

Ada yang membuat  Isa was-was. Kabut semakin pekat dari hari ke hari. Sudah sembilan orang bayi di kampungnya dilarikan ke puskesmas. Tiga dari mereka tak bisa ditangani karena kekurangan alat. Sekarang dirujuk ke rumah sakit di Palembang. Satu di antaranya sudah meninggal dunia. Masih banyak lagi sebenarnya bayi-bayi di kampungnya terjangkit inspeksi saluran pernapasan. Tapi, sebagian bertahan dengan berobat jalan. Ada juga yang mempercayakan penanganan pada  orang pintar.

Seorang ayah seharusnya senang ketika mendengar istrinya berhasil melahirkan. Sekarang Isa malahan was-was. Bayi yang baru lahir harus sering berjemur di bawah matahari pagi hingga jam sembilan. Agar tulang-tulangnya kuat, berkembang sempurna. Anak pertama Isa juga diperlakukan begitu. Dia tumbuh gagah. Sekarang dia kelas tiga esde. Tapi dia akhirnya menyerah pada kabut asap. Sudah dua hari dia absen sekolah. Batuk pilek menyerangnya.

"Anakmu laki-laki lagi," kata si mbah. "Nanti kalau dia sudah agak kuat, sering-sering dijemur saat pagi hari."

"Bagaimana toh, Mbah, menjemurnya  di pagi hari, malah mempercepat dia sakit."

"Susah juga, ya? Sekarang kabut asap di mana-mana. Dalam seminggu ini, sudah tiga rumah kebakaran." Si mbah memasukkan peralatan ke dalam tas jinjing. Kemudian dia permisi pulang setelah Isa menyalamkan amplop ke tangannya yang keriput.

Isa sebentar mengintip istri dan bayinya dari sela pintu. Mereka tertidur. Kelihatan damai. Tapi seketika cuping hidung Isa bergerak-gerak.  Bau asap kok sebegitu menyengat? Dia bergegas ke teras rumah. Pak Obi sedang membakar sampah. Bergegas pula dia menuju kamar mandi. Mengisi air seember penuh. Kemudian menyiram sampah berapi itu, berikutnya orang yang membakarnya.

"Hei, pagi-pagi kok tak punya mata! Lihat-lihat dong kalau mau nyiram jalan." Pak  Obi meradang.

"Maaf, Pak. Mataku tidak awas saat kabut begini. Sudah kabut kok nambahi dengan bakar sampah. Bayiku bisa sesak napas!"

  "Oh, bayimu sudah lahir, ya?" Wajah Pak Obi  cerah.

"Entahlah!"

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun