"Ha, jadi bagaimana?" Kembali semangat Ja Sulaiman.
"Tapi, saat malam tiba, aku tafakur. Aku berpikir telah durhaka kepada ayah. Ayah saja belum menikah lagi, eh, malahan aku melangkahi duluan menikah. Itu namanya tak sopan. Biarlah ayah menikah duluan, baru aku menyusul. Itu namanya memiliki tatakrama." Ja Limbat mengeluarkan jurus pamungkasnya.
"Hantulah kau! Pening kepalaku. Aku mau tidur dulu." Kembali Ja Sulaiman kalah dalam pertarungan. Ja Limbat hanya menahan tawa ketika tubuh ayahnya hilang di balik pintu kamar.
---