Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Membaca Deburan Ombak

9 Juni 2019   23:00 Diperbarui: 9 Juni 2019   23:06 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Ombak menghempas pantai. Burung camar beterbangan, memekikkan gairah memacari buih. Kau masih setia berdiri menantang deru. Rambutmu riap-riapan mengirimkan aroma hutan yang basah. Kau kelihatan tegar, kendati kau sedang rapuh.

Aku mencoba meraih tanganmu. Memberimu semangat. Tapi, aku yakin ini bukan saatnya.

"Vier," sapaku halus. Kau bergeming. Seseorang yang mengantarkan segelas minuman berwarna kuning cerah, membuat pertahananmu goyah. Setelah mengucapkan terima kasih kepada orang itu, kau duduk di tunggul kayu. Kau terlihat semakin rapuh.

Dulu, kau begitu bahagia ketika lelaki itu menyatakan cinta. Lima tahun bukan waktu yang lama untuk menambahkan yang kurang di antara kalian. Di situlah titik awal kalian menentukan sikap untuk menikah.

Terlalu dini mungkin. Usiamu kala itu dua puluh tiga tahun. Lelaki itu lebih tua darimu sekitar tiga tahun. Namun, siapa yang dapat mencegah ketika tekad sudah bulat meskipun sedikit nekad?

Saat itu lelakimu baru tamat sekolah pelayaran. Sedangkan kau cuma bisa menadah kepada orang tua. Hanya saja tak ada yang bisa menolak takdir.

Hans, suamimu itu, beberapa minggu setelah kalian bulan madu, diterima sebagai kelasi di sebuah kapal pariwisata yang mewah. Kau sudah tahu risiko apa yang akan kau hadapi. Jarak akan menjarangkan pertemuan. Kapal pariwisata itu hanya melayari antar wilayah di Eropa. Kalau ada kesempatan bersua kamu, mungkin hanya satu kali dalam setahun. Aku tahu lelakimu akan semakin gendut dan setia pada perut buncit. Aku tahu jambangnya awut-awutan karena tak ada yang merawat.

Kau mungkin salah besar. Hans salah satu lelaki purba yang sangat perfeksionis. Dia selalu atletis dan terkesan elegan. Begitu banyak bunga-bunga di setiap persinggahan, seakan meminta dihisap madunya. Kau pasti kenal Hans. Dia seorang lelaki setia. Ketika nyaris seluruh awak kapal memindahkan pelesiran ke kamar-kamar di seputaran dermaga, Hans memilih memeluk secangkir kopi kental di kedai-kedai tak berkelas. Saat awak kapal menikmati gerakan eksotis pasangannya sesaat, dia malahan meresapi setiap sela liukan asap kopi. Dan sebatang cerutu mahal pemberian nakhoda, menuntaskan rasa itu.

Setahun dua lakimu bisa bertahan menjadi suami setia. Pada tahun ketiga, dia tergoda liuk manja seorang penari sebuah pub di Spanyol. Saling tatap awalnya. Kemudian saling kerdip. Dua loki sampanye, memadukan Hans dengan perempuan itu. Nama perempuan itu mengingatkan Hans pada sebuah pantai; Carita Lolita.  Sebuah nama yang mahal. Sama mahalnya ketika hendak mengajak Carita mengelilingi kota selama kapal bersandar. 

Hans harus menggelontorkan simpanan gaji selama tiga bulan, agar dia berhasil membawa badan, juga hati Carita.

Semua berjalan santai. Akhirnya, Hans menodai cintanya dengan istri. Di situlah pertama kali Hans mulai gonta-ganti pasangan di setiap persinggahan. Penghasilannya tak tentu arah sekadar senang-senang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun