Manape masih asyik membanting kartunya di meja judi. Sesekali matanya mendelik. Melihat sekeliling. Curiga, kalau-kalau di antara musuhnya itu ada yang bermain curang. Sejak subuh hingga menjelang maghrib ini, dia sial terus.Â
Baca juga: Cerpen | Sekar
Dia kalah banyak, sampai jam tangan Rolex kesayangannya tergadai kepada Nyai Mali, yang setia menunggu di meja kecil di sudut tempat berbentuk pendopo itu.Â
Nyai Mali tabah menunggu salah seorang penjudi itu kalah, kehabisan uang. Lalu menggadaikan harta miliknya dengan harga miring. Itulah keuntungan yang membuat  tawa Nyai Mali selalu lebar.
Manape telah melupakan dunianya di luar sana. Dia tak ingat istrinya yang kurus masai, sekarang tergolek di lapik tipis rumahnya. Perempuan  itu diserang gigil selama tiga hari.Â
Jangankan membawa berobat, bertanya tentang keluhannya saja, Manape ogah. Malahan lelaki brengsek itu lebih sering mencak-mencak.Â
Sejak istrinya sakit, otomatis makanan di bawah tudung saji tak karuan. Pertama, sebab yang masak adalah Cipluk, anak sulung mereka. Anak itu, meskipun sudah berumur limabelas tahun, tapi tak cerdas memasak.Â
Selalu saja keasinan. Pilihan terbaik adalah sebungkus mi instan kuah atau goreng. Padahal Manape sudah muak melihat makanan yang membuat lambungnya melar serupa gelang karet direndam minyak tanah.
Kedua, karena jujur, Manape tak ada uang belakangan ini. Dia menganggur.  Dia  di-phk setelah tertangkap tangan berjudi saat bekerja. Otomatis tak ada penyundut yang membuat dapurnya mengebul. Terlebih lagi kegilaannya berjudi malah menjadi.Â
Mula-mula tabungan istrinya di bawah kasur diembat. Simpanan Cipluk di BRI bernasib sama. Menyusul menggadaikan perangkat dapur. Perhiasan sang istri, sampai cincin mahar itu. Hari ini nasib si Rolex ketiban sial. Lengkaplah kebangkrutan menimpa Manape.
"Kalian bermain curang!" Setelah kesekian kalinya, dia tetap pecundang. Manape heran, meski kartu remi yang dipiritnya bagus-bagus, tetap saja dia kalah.Â