Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Eina

16 Maret 2019   07:26 Diperbarui: 16 Maret 2019   12:40 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lama sekali aku tak bertemu, perempuan yang pernah menyinggahi hati ini, kemudian membiarkannya mengarat setelah jarak memisahkan kami. Dia tergoda menjadi seorang perempuan karier. Dia terbang ke negeri orang, demi melanjutkan jenjang pendidikan di sekolah lebih tinggi; universitas. Dia mengambil jurusan ekonomi. Setelah itulah cintanya seolah berpaling. 

Hanya sepucuk surat yang memenuhi rinduku sebulan setelah dia mengejar cita. Selanjutnya, bles! Dia seibarat tetesan hujan turun di musim kemarau. Begitu jatuh, lenyap dihisap tanah yang haus. Dari situlah rindu demi rindu mengajariku untuk melupakan cinta. Jarak terlalu peka membuat sekepal cinta membusuk. 

Lingkungan yang ramai dengan pesta-pora keindahan, lelaki-lelaki tampan dan mapan, mungkin, menyabot hati perempuan itu. Membuatnya tak dapat bertahan terhadap setiap serangan. Dan kini, setelah masa terlampau begitu lama, dia hadir dengan penampilan luar biasa. 

Membuat mataku seolah menjelma bola yang sangat besar. Membuat mulutku menjelma nganga lorong yang begitu pekat dan dalam. Pemandangan fantastis dan membuatku seakan bertemu orang yang paling asing di seluruh dunia.

"Bang Amman!" Dia duduk di bangku. Aku tersenyum. Kulayani dulu para pembeli yang ingin menyeruput teh tarik. Menghidangkan berpinggan roti tawar, lalu kembali tatapku menyergap perempuan itu.

"Kapan tiba?" tanyaku. Aku menghidangkan segelas teh tarik dan sepinggan roti tawar untuknya. 

Dia pasti gamang melihatku. Dulu dia sangat mengenalku sebagai seniman gendeng, yang mempercayakan hidup pada syair dan cerita pendek. Seluruh penghasilanku melulu dari hasil kesenimanan yang dimuat berkala di media massa. Perempuan itu paling senang bila namanya sengaja kusentilkan di syair-syair atau cerita-cerita pendekku. 

Hmm, ternyata berbilang tahun terlewat aku memilih membuka warung teh tarik demi hidup. Aku melupakan kesenimanan, karena itu membuatku terbebani untuk duduk dan selalu harus mengilhami seorang Eina (nama perempuan itu). Ouh, betapa sakitnya! Kecuali cintanya bisa kujamah dengan mengelus bibirnya yang ranum merekah.

"Tadi malam, dengan pesawat terakhir!" jawabnya. "Kenapa kau...."

Cepat kupotong ucapannya yang menggantung, "Kenapa aku memilih menjadi penjual teh tarik?" Kupicingkan mata karena tak tahan mendengar deru becak bermotor yang melintas di jalan berdebu dan macet. "Dan tidak bertahan menjadi seniman gendeng? Hahaha. Orang tak mungkin statis. 

Setiap saat bisa saja berubah. Kau menyadarinya, kan?" Mataku menyapu pipinya yang langsung memerah. Dia tertunduk. Dia sadar aku telah menyindirnya. Selintas pula mataku kembali menyapu perutnya yang membuncit. Hatiku bergetar. Darahku menggelegak. Buncit yang membentuk perutnya itu, membuatku faham bahwa Eina sudah bersuami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun