Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ujung Pertemuan

24 Januari 2019   13:08 Diperbarui: 24 Januari 2019   13:20 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Tak banyak yang berubah di tempat ini, setelah hampir empat tahun terlampaui. Udara tetap sejuk. Pohon-pohon, meskipun tak rindang, masih tumbuh berjejer di halaman rumah. Hanya batang rambutan kesayanganku tinggal tunggul kayu, dan berwarna kehitam-hitaman. Sisa abu pembakaran masih melekat di sisi akarnya.

Seorang lelaki kurus, dengan rambut masai, duduk mencangkung di dekat kandang ayam. Tangannya sibuk menghambur-hamburkan padi. Ayam-ayam di sekelilingnya, berkotekan kesenangan.

Aku tiba-tiba merasa beban di tanganku terlalu ringan, membuat kaki ini berat untuk dilangkahkan. Kuingat seorang lelaki gempal di Bukit Tinggi, menawarkan panganan Minang aneka rupa. Buat oleh-oleh ke kampung katanya. Tapi aku menampik halus. Aku hanya membawa sekotak kardus krupuk. Sebungkus roti mari, yang telah hilang beberapa potong. Saat di mobil, aku memakannya sekadar mengganjal lapar.

Lelaki kurus itu berdiri. Merasa ada orang yang memperhatikannya, dia langsung menatap dengan mata yang memicing. Dia mungkin mengingat-ingat wajah seseorang. Entah siapa. Begitu ingatannya padu, dia langsung membalikkan badan. Masuk ke dalam rumah sambil memaki, sekali.

Terseret juga langkah ini memasuki halaman. Kenangan demi kenangan saling berpacu di dalam ingatan. Kenangan masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Kenangan ketika lelaki itu menatapku dengan mata setajam silet. Ketajamannya pula yang membuatku terbang melanglang buana ke negeri orang. Masih kuingat kata terakhirnya, "Sampah, minggatlah!"

Terseret juga langkah ini memasuku rumah. Kenangan demi kenangan seperti peluru di dalam ingatan. Lelaki tadi sudah duduk di kursi rotan. Tatap matanya hampa. Dengus napasnya memburu. Sementara sejarak sekitar dua meter di sebelah kanannya, sesosok tubuh perempuan lunglai. Dia bagaikan selembar daun layu yang terhidang di atas lapik tipis. Menunggu sesuatu yang pasti. Maut!

"Kenapa kau pulang, Kirman? Tak puas kau mengelana seperti pelacur?" Tajam ucapnya, sama setajam matanya. Mata hampa itu berubah silet, sehingga membuatku tersungkur di telapak kakinya yang penuh koreng. "Tak perlu kau menyembah-nyembah. Aku bukan Tuhan. Bukan pula seorang majikan."

"Aku pulang, Bapak. Aku pulang setelah menjadi orang buangan. Tanpa seorang bapak. Tanpa seorang emak. Aku sebatang kara, membawa badan sebatang, kembali ke haribaanmua, Bapak. Maafkanlah, aku. Di negeri orang aku tetap sampah."

Dia membuang pandang.

Aku tahu kenangan tentangku sudah diutupnya rapat-rapat. Mungkin dia ingat betapa aku telah meneteskan rasa malu di telaga kehormatan yang selalu dijaganya selama hidup. Bagaimanapun, meski dia bukan ahli agama sekalibar Haji Samaun, tapi dia adalah lelaki yang paling rutin ke masjid. Suara khasnya selalu memenuhi toa setiap shalat fardhu. Kehadirannya kerapkali lebih berharga dari kehadiran seorang imam. Ketakhadirannya, membuat jamaah merasa kehilangan suara yang merdu merayu agar orang-orang berkumpul menemui Khalik-nya.

Sementara dengan tetes dosa yang kubawa, begitu saja mengotori telaga kehormatannya. Aku telah membuatnya sangat malu karena aku diarak orang sekampung menuju halaman rumah. Aku telah tertangkap basah sedang berusaha mencabuli Zainab, perempuan gagu dan setengah miring itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun