Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arjuna

21 Januari 2019   09:53 Diperbarui: 21 Januari 2019   09:57 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : forbes.com

 

Desakan teman-teman agar aku mencalon bupati tahun ini, kutanggapi biasa saja. Mendengar kata pilkada saja aku ngeri, apalagi harus benar-benar berkecimpung di dalamnya---tentu saja bukan sebagai pemilih, tapi orang yang dipilih. 

Bayangkanku akan banyak uang keluar. Akan banyak perbuatan asusila---begitu anggapanku----seperti jamak terjadi

"Ayolah! Kau cocok. Masyarakat senang sama kamu, Rojak. Kau tak hanya pengusaha, juga dermawan. Tahu agama lebih dari kami-kami lagi. Bukankah sekali dua kau sering diundang ceramah?"

Aku tertawa. "Aku tak ingin terjebak dalam lingkaran setan. Aku ingin menjadi diri sendiri. Menjalankan kerja sesuai hati nurani."

"Tapi apa tak kau pikir mereka yang mencalon itu akan merusak kota ini? Kau turut berdosa lho, sudah memiliki kecakapan dan modal, juga kepercayaan masyarakat, tak berani mencalon. Hidup ini harus dirubah ke arah lebih baik. Kalau masalah dukungan partai, aku punya beberapa teman dekat yang cukup kuat."

Dia menatapku dengan pancaran licik. Kukibaskan saja tangan, lalu berlalu menuju toilet.

Semakin banyak teman-teman yang mendesak, semakin takut aku mencalon bupati. Bermimpi pun tak! Aku menjauh dari pergaulan. Pertemuan-pertemuan bisnis yang biasa kulakukan, stagnan. Urusan kantor kuserahkan kepada wakil. 

Kalau perlu apa-apa, misal untuk tanda tangan, merekalah yang datang ke rumah. Kata istriku, aku seolah pensiunan yang sakit-sakitan. Kutahu itu sindiran. Tapi aku menanggapinya candaan. Aku tertawa lebar.

Hingga entah datang darimana dan maksud apa, tiba-tiba di senja yang mendung, seseorang mengetuk pintu rumah. Kebetulan seluruh keluarga sedang sowan ke mertua selama tiga hari. Malas-malasan kuseret langkah. Siapa lagi yang ingin bertandang di senja yang lebih bersahabat dengan kantuk ini?

Seseorang di depan pintu langsung menyalami tanganku erat-erat. "Calon bupati. Selamat datang di arena pertarungan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun