Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Goyang Oplos

18 Januari 2019   15:19 Diperbarui: 18 Januari 2019   15:46 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Ruang depan rumah berdinding papan, yang beberapa bagian ditempeli almanak lama berposter artis berpakaian seksi itu, kini telah dikerubungi perempuan. Sebagian besar berkerudung dengan masing-masing tangan memegang buku kecil seukuran saku. Itu adalah buku yasin, yang sebagian besar pula mulut mereka komat-kamit membaca ayat di dalamnya. Dengungnya seperti lebah yang merubung sarang di pohon mangga belakang rumah itu.

Seorang perempuan di sudut ruang, dengan kerudung yang tak sanggup menutupi rambut riap-riapnya, masih beberapa kali bersuara menyayat-nyayat. Dua kali dia pingsan. Dua kali hidungnya dijejali parfum sinyongyong, sehingga siuman dan menyayat-nyayat lagi. Dia bingung ditinggal sendirian membela tiga anak kecil yang belum bersekolah. Bagaimana dia bisa menyumpal mulut-mulut yang tak mau lapar itu? Bagaimana menyekolahkan mereka? Sementara dia hanya memiliki sepasang tangan yang digimbalkan ke sawah garapannya. Ach! Dia tak sanggup berpikir lagi. Otaknya ngambang.

Sesosok tubuh yang terbujur kaku di tengah ruang, yang telah membuat hati si perempuan sedih sangat. Lelaki itu kini telah menjadi mayat. Matanya tetap mendelik meski sudah bepuluh kali diusap lembut hingga keras. Wajahnya menyiratkan kesakitan, bercampuraduk rasa takut yang menggurita. Dadanya lebam-lebam. Biru bergumpal-gumpal. Kuku tangannya menghitam belum sempat dibersihkan. Di lengannya, tepat di lipatan tangan yang terhubung dengan siku, masih membekas beberapa tusukan.  Itu tusukan dari jarum infus, yang mencoba membantu menyelamatkan nyawa si lelaki. Tapi akhirnya Allah berkehendak lain. Lelaki itu mati dengan kondisi mengenaskan.

Beberapa perempuan saling berbisik. Mereka menceritakan tentang lelaki yang terbujur kaku itu. Tentang penampilan tubuhnya yang menyedihkan. Mereka juga menceritakan bahwa teman si lelaki, ada yang terbujur kaku di rumah sakit. Teman si lelaki belum benar-benar mati. Hanya sekarat. Tapi kemungkinan besar akan menyusul; mati.

* * *

Sebelumnya di rumah sakit. Beberapa perawat hilir mudik. Seorang dokter berkeringat memasuki sebuah ruangan. Ada dua perempuan yang menemani seorang pasien yang sedang bernapas sesekali dan kedengaran sesak. Seorang polisi berkumis tebal, berpangkat kapten, langsung menyalami dokter itu. Polisi itu mempersilahkan dokter memeriksa pasien yang lebih pantas disebut mayat.

"Siapa namanya?" tanya dokter. Entah kepada siapa. Tapi matanya tertuju kepada perempuan yang parasnya lebih muda.

"Parmin!" Yang menjawab perempuan berparas lebih tua. "Saya ibunya, Pak Dok! Ini Latifah, istrinya. Mereka sudah lama menikah dan memiliki tiga anak," lanjutnya. Dokter tampak acuh tak acuh mendengar penjelasan ibu Parmin. Dia hanya membutuhkan nama pasien, yaitu Parmin. Selebihnya dia lebih fokus menatap polisi itu. Dia tak mengeluarkan tanya, namun dari tatapan dokter itu sebenarnya dia menuntut jawaban.

"Dia sekarat, Pak Dokter!" kata polisi berpangkat kapten itu. Dia memperkenalkan nama sebagai Simorangkir. "Kabar dari keluarganya, kemarin di hajatan kawinan tetangganya, si Parmin ini minum-minuman keras. Ya, hal biasa yang sering dilakukan masyarakat. Meski selalu berujung keributan, bahkan tak jarang harus berurusan dengan pihak kepolisian. Parmin dan teman-temannya mengoplos minuman keras. Entah dengan bahan-bahan apa. Pihak kepolisian sedang menyelidikinya."

Dokter menggeleng-geleng. Beberapa bulan belakangan ini, dia kerap kali membaca berita di koran tentang beberapa warga masyarakat yang mati karena meminum minuman keras oplosan. Bahkan saat bersantai di ruang kerjanya, sekali-dua televisi mempertunjukkan adegan tragis itu. Entah apa yang ada di benak warga masyarakat sehingga senang melakukan sesuatu yang membahayakan. Mereka tak perduli bila akhirnya semua berujung sekarat dan kematian.

* * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun