Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | O Bertemu O

9 Januari 2019   13:24 Diperbarui: 10 Januari 2019   22:20 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Aku tak enak hati melihat rautnya. Dua hari setelah itu aku menemui Saoci di tempat kerjanya. Kebetulan dia sedang istirahat, dan kami menghabiskan waktu sambil menikmati dua piring salad dan dua gelas jus tomat. Kataku makanan tersebut sebagai salah satu pemicu penurunan berat badannya.

Menurutku, kalau perempuan itu memang mau menikahimu, tentu dia harus rela menerimamu apa adanya. Rela terhadap kondisi keuanganmu, termasuk pada keseluruhan fisikmu," aku serupa kyai memberikan wejangan kepada santrinya.

"Ya, tak bisa begitu, Rif. Perkara uang, memang dalam percintaan yang tulus, bukanlah persoalan. Tapi berhubungan dengan bentuk fisik, adalah faktor utama. Tak usah munafiklah, setiap orang yang jatuh cinta, pasti berawal dari melihat lawan jenisnya itu tampan atau cantik."

"Tak dapat dipastikan demikian, Ci!"

"Tapi itu adalah kenyataan, Rif. Kalau seseorang itu mencintai lawan jenisnya bukan karena faktor fisik, tentulah unsur tak tulus mencintai lebih berat. Mungkin dia hanya iba. Mungkin pula tersebab ingin mengeruk hartanya."

Aku menjadi penasaran seberapa cantik perempuan yang akan dijodohkan orangtuanya dengan Saoci. Mungkinkah seperti artis? Atau serupa perempuan desa yang berwajah kemayu? Mustahil Saoci mati-matian menurunkan berat badan kalau perempuan itu tak cantik selangit!

"Sudahlah! Jangan pernah mencintai orang yang tak mencintaimu! Perempuan lain kan banyak!" geramku.

Aku kesal, perempuan terkadang membingungkan. Saat-saat mana dia manis serupa anak kucing, saat-saat mana dia ganas laksana macan. Dia juga bisa menangis tanpa sebab, juga tertawa tanpa musabab. Itu menurutku. Hingga dari dulu aku selalu salah kaprah menebak kehendak setiap perempuan. Akibatnya, ya itu tadi, aku tetap melajang sampai hampir menjelang empatpuluhan.

"Kau tahu tak mudah membuat perempuan senang kepadaku, Rif!" tubuhnya lunglai. Sejak aku mengenalnya dua tahun lalu, praktis dia tak pernah dikunjungi perempuan. Tapi dia menerimanya dengan lapang dada laksana wajah, dada, dan perutnya yang lebar.

* * *

Duduklah di sini, dan dengarlah ceritaku. Kau jangan tertawa kalau ini membuatmu geli. Karena tertawa duluan adalah yang menangis belakangan. Ini merupakan hukum sebab-akibat yang tak dapat dipungkiri. Maka, duduk-diamlah. Diam lebih baik bagimu, ketimbang bercakap terus, sehingga ceritaku tak mengena di hatimu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun