Aku tak enak hati melihat rautnya. Dua hari setelah itu aku menemui Saoci di tempat kerjanya. Kebetulan dia sedang istirahat, dan kami menghabiskan waktu sambil menikmati dua piring salad dan dua gelas jus tomat. Kataku makanan tersebut sebagai salah satu pemicu penurunan berat badannya.
Menurutku, kalau perempuan itu memang mau menikahimu, tentu dia harus rela menerimamu apa adanya. Rela terhadap kondisi keuanganmu, termasuk pada keseluruhan fisikmu," aku serupa kyai memberikan wejangan kepada santrinya.
"Ya, tak bisa begitu, Rif. Perkara uang, memang dalam percintaan yang tulus, bukanlah persoalan. Tapi berhubungan dengan bentuk fisik, adalah faktor utama. Tak usah munafiklah, setiap orang yang jatuh cinta, pasti berawal dari melihat lawan jenisnya itu tampan atau cantik."
"Tak dapat dipastikan demikian, Ci!"
"Tapi itu adalah kenyataan, Rif. Kalau seseorang itu mencintai lawan jenisnya bukan karena faktor fisik, tentulah unsur tak tulus mencintai lebih berat. Mungkin dia hanya iba. Mungkin pula tersebab ingin mengeruk hartanya."
Aku menjadi penasaran seberapa cantik perempuan yang akan dijodohkan orangtuanya dengan Saoci. Mungkinkah seperti artis? Atau serupa perempuan desa yang berwajah kemayu? Mustahil Saoci mati-matian menurunkan berat badan kalau perempuan itu tak cantik selangit!
"Sudahlah! Jangan pernah mencintai orang yang tak mencintaimu! Perempuan lain kan banyak!" geramku.
Aku kesal, perempuan terkadang membingungkan. Saat-saat mana dia manis serupa anak kucing, saat-saat mana dia ganas laksana macan. Dia juga bisa menangis tanpa sebab, juga tertawa tanpa musabab. Itu menurutku. Hingga dari dulu aku selalu salah kaprah menebak kehendak setiap perempuan. Akibatnya, ya itu tadi, aku tetap melajang sampai hampir menjelang empatpuluhan.
"Kau tahu tak mudah membuat perempuan senang kepadaku, Rif!" tubuhnya lunglai. Sejak aku mengenalnya dua tahun lalu, praktis dia tak pernah dikunjungi perempuan. Tapi dia menerimanya dengan lapang dada laksana wajah, dada, dan perutnya yang lebar.
* * *
Duduklah di sini, dan dengarlah ceritaku. Kau jangan tertawa kalau ini membuatmu geli. Karena tertawa duluan adalah yang menangis belakangan. Ini merupakan hukum sebab-akibat yang tak dapat dipungkiri. Maka, duduk-diamlah. Diam lebih baik bagimu, ketimbang bercakap terus, sehingga ceritaku tak mengena di hatimu.