"Kenapa pula? Katamu, gemuk itu adalah berkah. Katamu, dengan tubuh gemuk, otomatis menjadi iklan bahwa makanan di restoran tempatmu bekerja memang super nikmat. Aneh! Apalagi sekarang kau sudah bangun dan hendak berolahraga. Ada gerangan apa membuatmu berubah seratus persen begini?"
"Mak-ku di kampung kemarin menelepon!"
"Bukannya itu perkara biasa?" ketusku.
"Masalahnya pelik, Rif," wajahnya berubah kuyu. Tak pernah dia kelihatan sekusut itu. Aku jatuh iba.
"Ceritakanlah!"
"Aku mau dijodohkan Mak dengan perempuan di kampung. Sebetulnya aku enggan. Malu rasanya dijodoh-jodohkan, meski perempuan itu anak tulangku. Tapi setelah menerima kiriman foto perempuan itu, hatiku berbalik suka. Perempuan itu memang belum pernah bersua denganku, karena selama ini dia tinggal di Irian Jaya. Kemarin itu pas bapaknya mutasi kerja ke Medan, singgah sebentarlah dia sekeluarga di rumah Mak, sekaligus mengancang-ancang menjodohkan kami berdua."
"Perempuan itu cantik, kan?"
"Iyalah pula! Kalau tak cantik tak maunya aku," wajah kusutnya kembali merona.
Dia mengatakan ingin secepatnya menikah dengan perempuan itu. Tapi ada masalah pelik yang membuatnya amat merana. Dari telepon Mak, ternyata si perempuan tak senang melihat foto Saoci yang terpampang di dinding rumah dengan postur serupa kerbau. Perempuan itu menginginkan Saoci yang bertubuh proporsional.
"Jadi, punahlah harapku, Rif. Makanya sekarang aku mau rajin berolahraga," wajah murungnya kembali menyilet hatiku. Hmm, bingung juga menghadapi persoalan kawan yang satu itu. Aku mencoba membantunya agar bisa menikah, sementara aku sendiri, untuk dekat dengan seorang perempuan saja tak pernah. Tapi tak apalah. Biarlah bantuanku menjadi tumbal atas segala keisenganku terhadap diri seorang Saoci selama ini.
"Ya, kalau begitu, rencanamu yang pertama ini memang betul. Berolahraga dengan pakaian training di bawah terik matahari, adalah kiat pertama. Selanjutnya kau harus berdiet."