Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepak Burung Merah

8 Januari 2019   16:38 Diperbarui: 8 Januari 2019   22:17 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Terutama itu." Aku tersenyum.

Dia kembali membaca buku. Hanya saja, sepertinya dia lebih senang berbincang denganku. "Andai saja aku mempunyai anak yang masih gadis, akan kujodohkan dia denganmu." Senyumnya nakal. Aku terperangah. Darimana dia tahu aku belum menikah? Apakah dia cenayang? Kutepiskan takhayul itu. Senyum kulepaskan bahwa aku tak berpikir macam-macam.

"Kau pasti bingung mendengar perkataanku. Lalu menebak-nebak tak karuan. Aku sudah tua. Sudah banyak makan asam-garam. Berbagai lelaki telah berhubungan, maksudku, berbisnis denganku. Tua-muda. Jadi, apa sulitnya membedakan lelaki yang masih bujangan, menikah atau duda?" Dia tertawa pelan. Burung merah tersentak. Bergetar seolah melewati kubangan. Buku perempuan itu jatuh lagi ke lantai burung merah. Kini, dia yang pelan mengambilnya, kemudian menyimpannya di saku kangguru yang terjahit di punggung kursi di depannya.

Awan hitam menyentuh kaca. Kilat saling menghempas di sekitar sayap burung merah. Tiba-tiba aku takut kilat itu melukai sayapnya. Lalu terbakar. Lalu... ah...

"Awan kumulonimbus," katanya. Bukan perempuan tua itu yang berkata, melainkan perempuan muda di sebelahku. "Aku selalu takut bertemu awan itu. Menyeramkan. Seperti tangan maut."

Suara di speaker meminta seluruh penumpang mengencangkan sabuk pengaman. Beberapa penumpang berdoa. Hening. Dan tiba-tiba sebuah sentakan menghantam seperti di bagian paruh burung merah. Kecepatan burung merah melebihi biasanya. Bukan terbang lurus. Lebih tepatnya terjun. Kilat-kilat menyambar kaca. Semua seperti ditelan cahanya. Mataku silau. Telingaku berdenging mendengar segala derak dan jerit. Aku tak merasakan apa-apa lagi, sebelum akhirnya kubuka mata, dan melihat orang-orang di sekitarku sedang bersiap mengambil barangnya di bagasi atas kepala.

"Sudah sampai, Anak Muda! Kerjaanmu tidur saja." Perempuan tua itu tersenyum. Terlihat lebih cerah dan muda dibanding beberapa saat lalu. Ingin kutanyakan apakah dia masih ketakutan dengan kejadian barusan, maksudku saat disergap awan kumulonimbus. Tapi kupilih bungkam karena dia sudah menyuruhku berdiri. Perempuan muda di sebelahku sudah menghilang duluan.

Aku pikir ini di Bandara Changi. Orang-orang bergegas menembus gerimis. Setelah keluar dari perut burung merah sekitar sepuluh atau sebelas langkah, kusempatkan menoleh. Ajaib, burung merah itu telah lenyap!  Begitu cepatnya, seperti mengejar setoran.

Keluar dari pintu kedatangan, aku merasa melihat seseorang yang sangat kukenal di antara kerumunan penjemput dan sopir taksi. Dia menatapku takjub. Melambaikan tangan sambil tersenyum. "Safran, kapan kau tiba, Kawan?" Dia mengacuhkan larangan petugas bandara agar jangan melewati pembatas penjemput. Disongsongnya aku. Dirangkulnya bahuku. Meski agak gamang dan rikuh, tapi cepat juga kurasakan kami menjadi sangat akrab. 

Dia mengajakku singgah di gerai makanan. Menawarkanku mie telor kuah hangat. Seperti selera beratku dulu. Kukatakan dulu, sebab sekarang dokter melarangku memakan, bahkan menyentuh makanan itu. Gula darahku lumayan tinggi. Begitu juga tekanan darah. Dan masalah perut yang agak membusung, menjadi perhatian utama. Artinya, jika ingin lebih panjang umur, aku harus puasa selamanya dengan masakan siap saji, junkfood atau apalah namanya dan setipe dengan itu. Namun tawaran dengan kawan baruku itu, tak selayaknya ditolak. Lagi pula posisiku jauh dari dokter. Hmm, tak ada salahnya membatalkan setelah hampir empat tahun berpuasa.

"Dingin-dingin begini, enaknya memang makan yang hangat-hangat dan sedikit, ya...berlemak." Dia menatap perutku. Kami tertawa. Dua buah kursi kosong di meja sudut, menyambut kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun