Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Suatu Kali di Bibir Senja

30 Maret 2020   15:41 Diperbarui: 30 Maret 2020   15:55 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku melihatmu  menggulung takut, melihatmu  mengurung semangat. Seperti sayap nyamuk menghitung gelisah, detik mengulum menit, dan jam bergegas menggarami hari yang teramat geram.  Liat tubuhmu kehilangan keperkasaan. Sayup tatapmu mandul semangat. Ketakutan-ketakutan, kau pemahat  rupawan, pucat pasi pada ketiadaan.

Entah ke mana candamu yang selalu mengurung kota.  Kau jadi pengeluh. Kegelisahan-kegelisahan menggulir dari layar gawai. Satu demi satu rebah, pergi. Tapi kau lupa, setiap detik pasti  ada yang pergi di dunia ini. Dan itu harus. Tapi  tak mesti ceruk senyum itu pergi.

Setiap orang harus kembali. Tak ada obat, hanya kungkung ketakutan. Semangat yang membuat bertahan, berjuang. Namun tak kulihat pada tubuh gagahmu. Ke mana dia pergi?

Ke mana pergi rasa syukur? Ada yang mati, tapi bukankah masih banyak yang hidup. Kita juga sekarang berdua, setelah kesibukan membuat kita berjarak. Katamu rumah adalah istanaku, kenapa bertahun sudah kita hanya berpasang burung yang menjadikan rumah untuk sarang, untuk singgah. 

Anak-anak kita telah tumbuh besar, banyak tersasar, tersesat. Kehilangan sosok ayah, lupa di mana bunda menyembunyikan air susu. Mereka mulai dekat dengan halusinasi dan pendaran cahaya menyilau, butakan mata hati bernama cinta.

Ketika pun rumah ibadahmu dikunci, kenapa kau marah? Apakah kau ingat selama ini dia menjerit memanggilmu? Kau lupa oleh dunia.

Ketika ibadahmu terganggu, ke mana kau selama ini? Kering kotamu tentang kalam suci.

Ketika kau dirumahkan, tak pula kudengar kau melantun doa, kecuali serapahmu menyesak layar kaca.

Kau lupa dan kita amat lupa. Ketakutan demi ketakutan hanya terlihat sebelah mata. Di situ ada hikmah. Bersyukurlah karena esok kau masih ada. Harus ada.

30/20                                                                                                                                

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun