Mohon tunggu...
Achmad Rifai
Achmad Rifai Mohon Tunggu... Diplomat - Mahasiswa

Mahasiswa di uin walisongo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Termakan Emosi

12 Desember 2019   23:28 Diperbarui: 12 Desember 2019   23:32 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika aku melihat mendung ada satu hal yang aku ingat, yaitu berakhirnya hubungan kita. Aku teringat bagaimana sedihnya dirimu. Engkau meneteskan air mata di hadapanku. Tersayat hatiku ketika aku mengucap kata itu. Aku tak tahu apa yang aku pikirkan saat itu. Hanya emosi yang menguasai diriku. Aku tau ini sangat menyakitkan untukkmu. Tapi semuanya sudah terjadi.

Ingin rasanya aku mendapatkan kembali kenangan-kenangan kita dulu. Susah, sedih, senang, khawatir, takut, dan masih banyak lagi rasa yang kita alami bersama. Aku menggandeng tanganmu ketika kita berjalan menyusuri gemerlapnya cahaya kota. Lampu-lampu kota menambah romantisnya kita berdua. Kau memegang lenganku dan tersenyum kepadaku. Senyum manismu itu tak pernah bisa kulupakan. Detik demi detik kita lewati bersama. Aku bersyukur ketika itu.

Setiap aku bangun dari tidur lelapku, namamu adalah hal pertama yang terlintas di pikiranku. Aku mengirimkanmu pesan "selamat pagi" dan berharap aku menjadi penyebab senyum pertamamu di hari itu. Setiap nafas yang kuhembuskan menjadi begitu berarti karena kau menemaniku melewati hari demi hari.

Hari itu pun terjadi. Hari dimana semua berubah, entah apa sebabnya. Mulut kita saling mencaci dan memaki. Ucapan kasar tak terhindarkan. Bahkan, sesekali aku berpikiran untuk melukai pipimu itu. Egois, emosi, dan ingin menang sendiri. Kita sudah berada di titik puncak emosi. Aku tak percaya aku bisa bersikap seperti itu kepadamu. Ini bukanlah hal yang kita inginkan, bukan? Apakah kita sudah capai untuk mempertahankan hubungan ini? Apakah tidak ada kesempatan lagi bagi kita untuk memperbaiki kesalahan? Tangisanmu membuat hatiku semakin sakit. Tetapi lagi-lagi, aku tak bisa mengusap air matamu. Tangan ini seakan tertahan. Iya, tertahan oleh emosi yang menggebu-gebu.

Sudah, aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini. Perasaanku sudah tak lagi 'hidup' untukmu. Mungkin tak ada gunanya lagi melanjutkan kisah kita. Maafkanlah aku, aku terpaksa mengucap kata ini, kata yang akan merubah segalanya tentang kita, kata yang selama ini tidak pernah aku pikirkan untuk aku katakan kepadamu. Inilah dia, PUTUS!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun