Kita disuguhi gaya hidup ideal: baju branded, nongkrong di kafe estetik, gadget terbaru, dan traveling ke tempat hits. Mau tak mau, muncul keinginan untuk ikut-ikutan, biar gak ketinggalan. FOMO (Fear of Missing Out) ini memicu konsumsi yang bukan karena butuh, tapi karena ingin terlihat “layak sosial media”.
Layanan paylater dari Shopee, Gojek, Traveloka, Kredivo, hingga Akulaku menjadi teman setia fenomena doom spending. Cukup verifikasi KTP, lalu boom! Kamu bisa belanja tanpa harus punya uang di rekening. Masalahnya, banyak yang tidak membaca syarat dan ketentuan.
Data dari Bank Indonesia (2024) menunjukkan nilai transaksi paylater sudah tembus Rp35,9 triliun, naik 50% dari tahun sebelumnya. Mirisnya, survei Katadata (2023) mencatat 71% pengguna tidak memahami bunga dan denda keterlambatan. Ini bahaya laten.
Artinya, banyak yang “belanja dulu, mikir belakangan”. Padahal, bunga paylater bisa mencapai 2,95% per bulan. Kalau menumpuk, ini bisa berubah jadi utang macet yang sulit diselesaikan.
Hingga 16 Desember 2023, tercatat 25 orang di Indonesia melakukan bunuh diri akibat terjerat paylater / pinjaman online ilegal dan bank keliling. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir (liputan6.com). Dan yang paling menyayat hati desember 2024, satu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak 3 tahun ditemukan meninggal dunia di Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan. Diduga karena pinjaman online (kompas.id).
Banyak anak muda yang terjebak utang tanpa sadar. Mulanya dari beli kopi Rp40 ribu, lalu baju diskon, lalu gadget, lalu menunggak. Akhirnya, utang numpuk, bunga jalan terus, dan mental makin drop. Siklus ini terus berulang.
Dampaknya Bukan Cuma ke Dompet, Tapi ke Negara
Kalau kita pikir ini cuma urusan pribadi, kita keliru. Gaya hidup konsumtif berdampak pada ekonomi negara, lho.
Solusi? Harus Bareng-Bareng, Gak Cukup Ngomel di Twitter