“Beli dulu, mikir nanti” — slogan tidak resmi generasi muda saat ini.
Saat pandemi covid’19, negara Indonesia dihadapkan dengan krisis ekonomi yang memicu semua transaksi dilakukan dengan digitalisasi, Winpay mencatat nilai ekonomi digital Indonesia tumbuh dari US$41 miliar pada 2019 menjadi US$77 miliar pada 2022, dan diperkirakan mencapai US$130 miliar pada 2025 hal ini memicu pesatnya perkembangan transaksi digital dan menimbulkan beragam tren, salah satunya fenomena baru bernama doom spending kini sedang menjadi sorotan. Di era media sosial dan digitalisasi, belanja bukan lagi soal kebutuhan, tapi soal eksistensi. GenZ dan milenial makin sering belanja bukan karena butuh, tapi karena... takut ketinggalan tren. Gampangnya, ini adalah kebiasaan belanja impulsif untuk melawan stres atau sekadar "menghibur diri". Ditambah dengan layanan paylater yang menjamur, kebiasaan ini makin mudah dilakukan tanpa pikir panjang. OJK mencatat total utang masyarakat Indonesia melalui layanan paylater mencapai Rp30,36 triliun per November 2024 dengan pertumbuhan kredit paylater di sektor perbankan mencapai Rp21,77 triliun, meningkat 42,68% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, kredit paylater dari perusahaan pembiayaan atau multifinance tercatat sebesar Rp8,59 triliun, tumbuh 61,90% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sekitar 70% pengguna paylater berusia di bawah 35 tahun, dengan kebutuhan konsumtif fesyen (66,4%), elektronik (41%), dan perawatan diri (32,9%). Tapi, apakah kita sadar bahwa gaya hidup ini bisa jadi bom waktu bagi perekonomian negara?
Digitalisasi dan Media Sosial: Mesin Pendorong Konsumsi Instan
Di era serba digital, semua bisa dilakukan hanya lewat satu klik. Belanja? Klik. Bayar? Nanti aja, ada paylater. Generasi Z dan milenial hidup dalam ekosistem digital yang begitu cepat dan instan. Menurut data dari We Are Social 2024, orang Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam per hari di media sosial. Di sana, mereka tidak hanya mencari hiburan, tapi juga "tersugesti".
Kita hidup di masa yang serba cepat dan penuh tekanan. Banyak anak muda merasa stres dengan tuntutan kerja, tidak yakin soal masa depan, dan lelah menghadapi realita. Nah, belanja jadi salah satu pelarian yang memberi rasa “senang sesaat”. Istilah retail therapy atau doom spending menggambarkan kondisi ini.
Survei Deloitte Global Gen Z & Millennial Survey (2023) menunjukkan bahwa 46% Gen Z mengalami stres harian, dan 39% di antaranya mengaku menggunakan belanja sebagai cara untuk mengatasinya. Di Indonesia, fenomena ini makin terlihat dengan maraknya “checkout spontan” di e-commerce hanya karena lihat review viral di TikTok.
Media sosial punya peran besar dalam pola konsumsi ini. Setiap hari kita disuguhi konten haul, unboxing, atau flexing barang mewah yang membuat orang merasa harus ikut-ikutan. Akibatnya? Banyak yang merasa perlu membeli barang yang sebenarnya nggak dibutuhkan—demi terlihat “oke” secara sosial.