"Terkadang mereka hanya butuh didengar, bukan sekedar dikasihani."
Kalimat ini terasa sangat membekas setiap kali saya berinteraksi dengan para lansia ketika berpraktik dalam setting Praktik Pekerjaan Sosial dengan Lanjut Usia (Lansia). Masa tua bukan hanya soal fisik yang melemah, tapi juga perjuangan untuk tetap merasa bermakna di tengah perubahan peran sosial, kehilangan pasangan hidup, atau sekadar menghadapi sepi yang terus membayangi.Â
Lansia dan Kebutuhan Akan Relasi Sosial
Masa lanjut usia adalah fase kehidupan yang sarat tantangan. Banyak lansia mengalami penurunan fungsi biologis, kehilangan peran sosial, hingga keterbatasan ekonomi. Namun, seringkali yang luput dari perhatian adalah kebutuhan mereka akan pengakuan diri dan hubungan sosial yang bermakna.
Di sinilah bimbingan sosial mengambil peran penting. Ia bukan sekadar aktivitas pendampingan, melainkan proses membangun kembali harga diri, rasa percaya, dan makna hidup para lansia. Pekerja sosial memiliki posisi strategis untuk menjadi "teman bicara" yang tidak menggurui, tetapi hadir secara empatik.
Bimbingan Sosial sebagai Upaya Pemulihan
Bimbingan sosial bagi lansia tidak melulu tentang memberi nasihat. Ia lebih pada pendekatan psikososial, yang berangkat dari kebutuhan, pengalaman, dan nilai-nilai yang dimiliki lansia itu sendiri.
Bentuknya bisa berupa:
Konseling ringan berbasis active listening,
Kegiatan kelompok seperti terapi reminiscence, diskusi mengenai hidup yang bermakna,
Atau sekadar menjadi pendengar yang sabar dan tulus.
Pendekatan ini mampu mengurangi rasa kesepian, kecemasan, bahkan depresi ringan yang banyak dialami oleh lansia di panti atau yang tinggal sendiri. Bimbingan sosial menjadi jembatan menuju keberdayaan --- bukan karena kita "menolong" mereka, tetapi karena kita memberi ruang agar mereka kembali merasa utuh sebagai manusia.