Mohon tunggu...
Ridwan Lanya
Ridwan Lanya Mohon Tunggu... mahasiswa

Ridwan Lanya, Mahasiswa "MENULISLAH SEBELUM DITULIS"

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Materi: Fotografi Jurnalistik

9 September 2025   12:13 Diperbarui: 9 September 2025   12:12 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Konsep Fotografi Jurnalistik

Fotografi jurnalistik pada dasarnya merupakan seni sekaligus praktik komunikasi visual yang berfungsi menyampaikan berita dalam bentuk gambar. Sebuah foto jurnalistik tidak sekadar menjadi ilustrasi dari teks berita, melainkan berdiri sendiri sebagai pesan non-verbal yang memiliki makna, konteks, dan kekuatan informasi. Atok Sugiarto dalam Jurnalisme Pejalan Kaki menjelaskan bahwa foto jurnalistik adalah foto yang erat kaitannya dengan berita, memuat nilai informasi, dan layak dipublikasikan. Pernyataan ini menegaskan bahwa foto dalam ranah jurnalistik tidak boleh dipandang sebagai hiasan semata, melainkan sebagai bagian integral dari konstruksi informasi yang disampaikan kepada publik. Wardana (2017) menambahkan bahwa fotografi jurnalistik harus memuat unsur 5W+1H (What, Who, When, Where, Why, How) sebagaimana berita tulis, agar tetap faktual, akurat, dan sesuai dengan kaidah pemberitaan. Dengan kata lain, sebuah foto jurnalistik memiliki kedudukan yang sama penting dengan berita tertulis, bahkan seringkali lebih kuat karena bahasa visual mampu menembus batas bahasa, budaya, dan interpretasi teks.

Sejumlah tokoh memberikan definisi berbeda tetapi saling melengkapi. Wilson Hicks, editor foto majalah Life, mendefinisikan foto jurnalistik sebagai kombinasi antara kata-kata dan gambar yang saling menguatkan sehingga menghasilkan komunikasi yang utuh. Henri Cartier-Bresson dengan konsep decisive moment-nya menegaskan bahwa fotografi jurnalistik adalah kemampuan menangkap momen yang menentukan, yaitu detik-detik krusial yang hanya sekali terjadi dan tidak bisa diulang. Sementara itu, Oscar Motuloh melihat foto jurnalistik sebagai medium penyampaian bukti visual peristiwa yang harus cepat disebarkan ke masyarakat luas. Dari perspektif sejarah, foto jurnalistik berperan penting dalam mengabadikan momen-momen monumental seperti perang, bencana, maupun peristiwa politik, sehingga ia tidak hanya menjadi alat komunikasi tetapi juga arsip sejarah yang kelak dikenang. Dengan demikian, fotografi jurnalistik dapat dipahami sebagai perpaduan seni, teknik, dan etika dalam menyampaikan fakta visual yang berdampak sosial.

Syarat Fotografi Jurnalistik

Sebuah foto baru dapat dikategorikan sebagai foto jurnalistik jika memenuhi sejumlah syarat mendasar. Pertama, foto tersebut harus mengandung nilai berita (news value). Artinya, foto harus aktual, penting, berdampak luas, atau menyentuh sisi emosional khalayak. Nilai berita juga bisa muncul dari faktor kedekatan geografis, keterlibatan tokoh terkenal, hingga keunikan peristiwa. Misalnya, foto bencana alam yang menimpa masyarakat lokal akan memiliki nilai berita tinggi karena kedekatan emosional dan geografis dengan pembaca. Kedua, foto jurnalistik harus objektif dan faktual, yakni menggambarkan apa adanya tanpa rekayasa. Editing foto hanya sebatas pada koreksi teknis seperti pencahayaan atau kontras, bukan manipulasi isi yang mengubah fakta. Kasus pemecatan fotografer Associated Press Narciso Contreras yang memanipulasi elemen kecil dalam foto menjadi pelajaran penting bahwa kejujuran visual adalah syarat mutlak dalam foto jurnalistik.

Ketiga, foto jurnalistik harus mematuhi etika dan norma hukum. Di Indonesia, hal ini diatur dalam Kode Etik Jurnalistik, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 2 menegaskan bahwa wartawan tidak boleh menyiarkan hal-hal yang destruktif, merugikan bangsa, atau menyinggung SARA. Pasal 3 menuntut wartawan memperoleh berita dengan cara jujur, memverifikasi informasi, serta membedakan fakta dan opini. Dalam praktiknya, etika ini diterapkan misalnya pada peliputan kecelakaan atau pembunuhan, di mana wajah korban harus disamarkan atau dipotret dari jarak tertentu. Begitu juga dengan foto sidang pengadilan yang hanya boleh diambil dari belakang terdakwa selama statusnya masih tersangka, demi menghindari trial by the press. Foto yang bersifat pornografi atau manipulatif tanpa dasar fakta juga dilarang disiarkan. Keempat, foto jurnalistik harus memenuhi standar teknis fotografi: ketajaman, komposisi, pencahayaan, dan framing harus mendukung pesan yang ingin disampaikan. Terakhir, syarat penting lainnya adalah keberadaan caption atau teks foto yang menjelaskan konteks gambar. Caption wajib menjawab unsur 5W+1H agar audiens tidak hanya melihat gambar, tetapi juga memahami pesan faktual di baliknya. Tanpa caption, sebuah foto hanyalah gambar kosong tanpa makna jurnalistik.

Perbedaan Fotografi Jurnalistik dan Human Interest

Meskipun sering dipandang serupa, fotografi jurnalistik berbeda dengan fotografi human interest. Fotografi jurnalistik berfokus pada penyampaian fakta peristiwa yang harus memenuhi unsur 5W+1H. Tujuannya adalah menyampaikan informasi publik yang objektif, akurat, dan aktual. Foto jurnalistik bersifat dokumentatif dan informatif, sehingga dapat dipublikasikan di media massa sebagai bukti visual sebuah peristiwa. Sebaliknya, fotografi human interest menekankan sisi emosional dan interpretatif. Foto ini biasanya menampilkan ekspresi wajah, gestur, atau suasana hati manusia yang dapat ditafsirkan beragam oleh penikmat foto. Arbain Rambey, salah satu pewarta foto Indonesia, menyebut human interest sebagai upaya menonjolkan "rasa" dari sebuah peristiwa, bukan sekadar fakta.

Wardana (2017) menegaskan bahwa human interest memang menjadi bagian dari foto jurnalistik, khususnya kategori daily life, namun keduanya memiliki orientasi berbeda. Foto jurnalistik berorientasi pada peristiwa dan kepentingan publik, sedangkan human interest berorientasi pada kemanusiaan dan simpati personal. Sebagai contoh, foto jatuhnya pesawat Lion Air adalah foto jurnalistik karena memuat fakta aktual yang penting bagi publik, sedangkan foto seorang anak kecil yang tetap bermain di tengah reruntuhan bencana lebih dekat dengan human interest karena mengedepankan sisi emosional. Dengan kata lain, perbedaan utama keduanya terletak pada titik tekan: fakta versus rasa.

Jenis-Jenis Fotografi Jurnalistik

Berdasarkan klasifikasi World Press Photo Foundation dan literatur jurnalistik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun