Kebiasaan saya menonton film dimulai dari rasa curiga. Upaya selanjutnya adalah menjauhkan sutradara dari karyanya. Jarak itu akan tumbuh sebagai "yang liyan", bahwa sebuah film bisa berdiri secara otonom, lepas dari pretensi religius, niat baik, atau pesan moral. Sebab sebagaimana cerita, film juga bisa bersuara lebih jujur saat pembuatnya tidak terlalu ikut campur. Dan itulah yang coba saya pegang saat menonton Bidaah (judul lain: Broken Heaven), drama Malaysia yang---secara terang-terangan---menelanjangi praktik pemerkosaan tafsir dalam bungkus agama.
Yang menarik dari Bidaah bukan hanya temanya yang kontroversial, tapi keberaniannya memotret kebusukan agama ketika dimonopoli oleh satu orang yang menganggap dirinya utusan Tuhan. Walid, sang pemimpin sekte, menggunakan dalil-dalil pseudo-agamis untuk memperkosa tafsir dan memperalat keyakinan. Ia menamai gerakannya "Jihad Ummah", seolah-olah menyelamatkan umat, padahal misinya adalah menyelamatkan libido pribadi. Ia menikahi para gadis di pondok pesantrennya atas nama suruhan Nabi Muhammad---sebuah manuver manipulatif , sayangnya, tak asing terdengar bahkan di dunia nyata.
Cerita tidak sekadar menggambarkan fanatisme, tapi bagaimana tubuh perempuan dijadikan ruang tawar-menawar kekuasaan. Para perempuan dalam pondok itu, termasuk Baiduri, dipaksa tunduk atas nama dalil dan disucikan hanya agar bisa dimiliki. Seolah keimanan mereka hanya bisa dibuktikan lewat penyerahan tubuh. Inilah ironi terbesar dalam ajaran sesat: memakai surga untuk menjustifikasi neraka.
Baiduri adalah tokoh resistensial. Ia sadar ada yang ganjil dalam komunitasnya, terutama sejak ibunya sendiri begitu terpesona oleh sosok Walid. Namun, Baiduri tak memilih bungkam. Ia membangun keberanian, bahkan bersekutu dengan Hambali---untuk mengungkap kebenaran. Di titik ini, Bidaah tidak hanya bicara soal sekte, tapi juga tentang keberanian perempuan untuk menolak dijadikan objek atas nama iman. Dan ini penting.
Sebab, yang perlu digarisbawahi, Bidaah memperlihatkan satu pola busuk yang sayangnya akrab dalam kehidupan sehari-hari: perempuan dijadikan objek utama dalam praktik ajaran sesat. Mereka dinikahi atas nama Nabi, disucikan demi dalil, dan direbut tubuhnya seolah keperawanannya adalah tiket ke surga. Kritik tajam harus diarahkan ke sana---mengapa yang dikorbankan selalu perempuan? Mengapa iman yang dimanipulasi selalu bersarang di tubuh-tubuh yang dianggap suci karena lemah?
Sudah waktunya kita menolak ajaran apa pun---baik yang datang dari mimbar atau layar---yang secara eksplisit maupun simbolik meletakkan beban keimanan dan moralitas hanya di pundak perempuan. Kesalehan tidak boleh menjadi alasan untuk memperbudak, apalagi yang dibungkus dengan bahasa surgawi. Film ini, walaupun fiksi, membuktikan bahwa kita butuh lebih banyak cerita yang berani menyentil dogma, terutama ketika dogma itu dijadikan alat untuk menguasai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI