Mohon tunggu...
Ridwan Hasyimi
Ridwan Hasyimi Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja Seni

Berteater, nari, dan nulis.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Nyiar Lumar 2022: Ngaruat Jagat

17 Desember 2022   21:37 Diperbarui: 17 Desember 2022   22:59 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arsip Panitia Nyair Lumar 2022

Mei 1998 Jakarta membara. Ribuan massa turun ke jalan. Kerusuhan merajalela. Suasana mencekam. Sementara itu, 255 kilometer dari ibu kota yang riuh, di hutan sunyi Situs Lingga Hyang Astana Gede Kawali, Dan'Q, Pandu Radea, Didon Nurdani, Godi Suwarna, dan puluhan anggota Teater Jagat SMAN 1 Kawali memilih khusyuk menyiapkan sebuah peristiwa kesenian. Di detik-detik bersejarah itu, mereka mengukir sejarahnya sendiri: Nyiar Lumar.

Sejak saat itu, festival kesenian bermakna harfiah mencari jamur cahaya itu rutin digelar dua tahun sekali. Awalnya tidak ada yang menyangka kegiatan sederhana yang berawal dari kebiasaan Teater Jagat pentas di hutan sambil kemping itu akan menjadi besar seperti hari ini. Nyiar Lumar sukses menjadi magnet gelaran budaya lantaran konsepnya unik dan khas.

Sejak awal, para penggagas melarang keras penggunaan listrik selama kegiatan berlangsung. Konsekuensinya, tidak ada sound system, dan, tentu saja, tidak ada lampu. Pencahayaan hanya mengandalkan oncor (obor bambu) dan damar sewu (rangkaian obor bambu). Sementara unsur bunyi sepenuhnya mengandalkan tubuh sumber bunyi itu sendiri.

Kemasan ini yang menjadikan Nyiar Lumar khas dan kerap diburu banyak orang dari berbagai daerah. Bagi mereka yang terbiasa berkesenian dengan hingar-bingar akan mendapat suasana yang sama sekali berbeda. Para aktor, musisi, pembaca puisi, penari, dan performer lain pentas hanya ditemani "api dan sunyi". Bagi para seniman, panggung festival yang diberi nama oleh Godi Suwarna ini punya tantangan tersendiri.  

Selain bagi para seniman, peristiwa budaya ini lambat laun juga menjadi hajat masyarakat. Rumah-rumah mereka bersolek sebab alih status menjadi home stay. Ibu-ibu sibuk menjadi pedagang dadakan menjajakan berbagai kudapan dan cinderamata. Para pemuda mengatur parkir dan keamanan selain sebagian dari mereka turut andil ngawawas hutan keramat itu agar pangling.

Ngawalan, Lalampahan, Magelaran

Kian kemari, festival ini makin besar. Lokasi acara bertambah tidak hanya di area Astana Gede Kawali. Siang hingga sore hari, kegiatan dipusatkan di eks Kewadaan Kawali (Kantor Camat Kawali). Karnaval (helaran) dan berbagai pertunjukan seni akan meramaikan mata acara yang dinamai Ngawalan ini.

Selepas isya, para peserta akan Lalampahan: berjalan membawa obor menuju situs. Sepanjang rute perjalanan, peserta akan disuguhi suasana desa masa lampau dengan damar sewu di kanan-kiri jalan. Sesekali, akan dijumpai panggung-panggung mungil tempat para musisi unjuk kebolehan sekaligus membangun suasana.

Di situs, berbagai pertunjukan menunggu. Magelaran. Sebelum memuncak di Pasanggrahan untuk menari bersama dalam lingkaran Ronggeng Gunung, penonton akan diajak bertualangan dari satu panggung ke panggung lain, menyaksikan beragam pertunjukan dalam temaram dan sunyi.

Pandemi dan Kini Kembali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun