Mohon tunggu...
Ridwan Hasyimi
Ridwan Hasyimi Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja Seni

Berteater, nari, dan nulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Geblug" dan Oleh-Oleh Menonton Malu-Malu Hatedu

30 Maret 2021   23:53 Diperbarui: 31 Maret 2021   00:55 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepanjang jalan pulang dari Studio Ngaos Art ke rumah, ditemani gerimis, saya terus menimbang-nimbang. Merenungkan. Mengunyah dan kembali mengunyah pertunjukan "Geblug" yang tuntas saya tonton malam itu, Sabtu, 27 Maret 2021.

"Geblug" adalah adaptasi bebas sutradara AB Asmarandana dari drama "Bencana" karya Samuel Beckett. Menilik kecenderungan Abuy---sapaan akrab AB Asmarandana---yang kerap berikhtiar membumikan teater di tempat ia berpijak, besar kemungkinan "Geblug" yang dimaksud dipinjamnya dari bahasa Sunda. Dalam bahasa Sunda, kata geblug digolongkan kecap panganteur 'kata pengantar'. Kata ini khusus untuk "mengantar" kata jatuh (labuh). Geblug labuh. Siapa/apa yang jatuh malam itu?

Di masa pandemi ini, kecuali industri farmasi, penjual pulsa, paket data, wifi, serta bisnis aplikasi dalam jaringan tertentu, semuanya jatuh. Moral juga. Khususnya sejumlah pejabat di Tanah Air. (Eh, salah. Moral mereka sudah jatuh sejak jauh-jauh hari sebelum Corona menerjang. "Banyak yang main drama di luar panggung," demikian dialog Bu Mimi dalam "Geblug".)

Teater juga jatuh. Beberapa seniman dan kelompok teater sampai nyungseb. Tak berdaya dalam arti sebenarnya. Geblug.

Diciptakan khusus untuk dipentaskan pada momen Hari Teater Sedunia (Hatedu), "Geblug" dapat dimaknai sebagai jatuhnya teater. Dari panggung ke ruang-ruang virtual. Dari "panggung normal" ke "panggung darurat". Atau ke kesepian sama sekali. Panggung sepi. Lampu-lampu mati. Aktor nganggur. Sutradara bengong. Geblug, teater jatuh.

"Geblug"nya Ngaos Art tidak sendiri. Ia juga punya "kecap panganteur": Malu-Malu Hatedu. Makin jelas siapa yang jatuh. Hatedu yang biasanya diperingati meriah, penuh keyakinan dan percaya diri, kini harus secara malu-malu. Penonton dibatasi. Harus jaga jarak pula.

Meski malu-malu, "Geblug" tidak malu-maluin. Pertunjukan dibuka dengan video tentang latar belakang peringatan Hatedu yang dicetuskan International Theater Institute pada tahun 1961. Penonton juga diajak "ziarah" ke reruntuhan theatron kuno di Yunani dan Colosseum di Italia. Tentu saja via layar besar yang disorot proyektor yang juga berfungsi sebagai latar panggung.

Setelah "ziarah" ke tempat bersejarah itu, penonton diajak mengenal wajah para karuhun 'leluhur' teater dunia dan Indonesia. Wajah William Shakespeare, Stanislavsky, Bertolt Brecht, Bernard Shaw, Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Rendra, Suyatna Anirun, Teguh Karya, Arifin C. Noor, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Rachman Sabur, dan tokoh teater lainnya hadir silih berganti di layar besar itu. Aya ma baheula hanteu tu ayeuna, kata Amanat Galunggung. Karena ada masa lalu maka ada masa kini.

Kapan pertunjukan dimulai? Apakah slide-slide itu juga bagian dari pertunjukan? Semacam kecap panganteur?

Pertunjukan dimulai ketika sutradara dan penonton menganggapnya dimulai. Slide-slide itu, buat saya, bagian dari pertunjukan juga. Justru penting. Ia memberi konteks pada "Geblug": Hari Teater Sedunia.

Setelah "kecap panganteur", lima pemain bertopeng setengah wajah muncul (Jimat, Alvin, Mimi, Kahfi, Rizky). Rambut mereka adalah tali rapia berbagai warna. Meski sama-sama berbusana keresek hitam, topeng dan rambut mereka berlainan. Mereka memainkan potongan "Menunggu Godot"nya Beckett. Bagian awalnya. Tentang pencarian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun