Dikutip dari republika.co.id, Pemerintah Indonesia secara konstitusional menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa 33% anak Indonesia tidak menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA. Angka ini mengindikasikan adanya ketimpangan antara besarnya alokasi dana dan realisasi kualitas serta pemerataan pendidikan. Ini bukan sekadar statistik, ini adalah kegagalan moral dan sistemik.
Pemerintah kerap membanggakan besarnya anggaran. Tapi publik bertanya-tanya: jika dana begitu besar, mengapa jutaan anak masih putus sekolah? Jika gedung sekolah sudah berdiri, mengapa tidak ada guru? Jika ada beasiswa, mengapa tak semua anak bisa menjangkaunya?
Ini bukan tentang kurangnya dana. Ini soal bagaimana dana itu digunakan. Sayangnya, sebagian besar anggaran pendidikan justru habis untuk belanja rutin, bukan pembangunan kualitas.
Rencana pemerintah untuk menyederhanakan sistem hukum pendidikan lewat RUU Sisdiknas patut diapresiasi secara ide. Tapi dalam praktiknya, beberapa pasal yang  mungkin  menghapus kejelasan perlindungan bagi guru, anak, dan pendidikan inklusif. Seolah-olah efisiensi birokrasi dijadikan alasan untuk menghapus tanggung jawab negara. Lebih jauh lagi, penyatuan tiga undang-undang tanpa memperbaiki akar masalah pendidikan (akses, kualitas, dan keadilan) justru mengaburkan fokus utama reformasi pendidikan.
Putus sekolah bukan hanya terjadi di pelosok Papua atau NTT. Di Jakarta, kota dengan infrastruktur terbaik pun, anak-anak bekerja di lampu merah, bukan di ruang kelas. Mereka jadi korban dari sistem yang gagal melihat pendidikan sebagai jalan keluar dari kemiskinan.
Pendidikan kita terlalu fokus pada angka, bukan manusia. Padahal, di balik angka 33 persen itu, ada jutaan masa depan yang diremehkan.
Solusi Harus Radikal dan Berani
- Evaluasi anggaran berbasis hasil, bukan hanya penyerapan.
- Perluas sekolah menengah di daerah tertinggal dengan insentif guru dan fasilitas dasar.
- Reformasi sistem beasiswa agar anak-anak miskin tidak hanya dapat bantuan, tapi juga pendampingan.
- Libatkan komunitas lokal dan organisasi masyarakat sipil, bukan hanya birokrat pusat.
Kita tidak boleh lagi bangga mengatakan "anggaran pendidikan 20 persen" jika sepertiganya anak bangsa terhenti pendidikannya sebelum lulus SMA. Pendidikan bukan sekadar proyek negara. Ia adalah hak dasar, dan setiap anak yang tak menyelesaikannya adalah bukti bahwa kita gagal sebagai bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI