Mohon tunggu...
R. Rido Ibnu Syahrie
R. Rido Ibnu Syahrie Mohon Tunggu... -

Veteran Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pergulatan Menentukan Pilihan (1)

1 Juli 2014   12:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:00 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1404168672561059371

[caption id="attachment_331536" align="alignnone" width="427" caption="Cerdas Memilih-Memilih Cerdas"][/caption]

Meskipun sudah terbiasa menulis karena tuntutan profesi sebagai jurnalis. Namun untuk menulis opini tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 terasa begitu sulit karena banyaknya indikator yang mesti ditelaah dan dicerna. Biarlah dikatakan 'telat loading' daripada salah memilih dan menyesal selama lima tahun.

Masalah utama terletak pada keharusan membuang netralitas lantaran perlu berpihak secara objektif. Dalam kondisi dua pasang Capres-Cawapres memang tidak ada opsi alternatif dan otak ini digiring untuk membandingkan mana yang lebih baik, Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK. Sebagai anak bangsa, sangat takut rasanya jika salah dalam menentukan pilihan karena satu suara sangat berarti dan Golput bukanlah solusi.

Ibarat seorang anak kecil yang selalu ingin tahu saat diberikan mainan, maka saya mulai menimba banyak informasi dari para politisi, pejabat di daerah, pengusaha, kalangan bawah dan rekan-rekan secara langsung. Informasi justru lebih banyak didapatkan dari sajian media massa non mainstream di dunia maya (dumay) dan televisi.

Mengapa mengambil non mainstream? Alasannya sangat sederhana ketika sejak awal diketahui banyaknya koran yang berada dalam jaringan luas se-nusantara sudah menentukan sikap untuk terlibat dalam aksi pendukungan.

Saya yang pernah bekerja dalam sebuah sistem jaringan surat kabar terbesar di Indonesia sangat hafal dengan gelagat sejak awal 'akan ada ketidakobjektifan' dalam hal penyajian berita, melalui politisasi pemberitaan. Sikap antipati inilah yang mengawali jalur lain pencarian untuk menentukan pilihan yang tepat.

Sejak awal saya sangat menyukai sosok Prabowo Subianto sebagai figur militer. Pergolakan batin terus menyeruak. Apakah ini pengaruh psikologis karena saya pernah dibesarkan dalam komplek asrama Kopassus Grup I Taktakan Serang mengikuti Suherlan, abang kandung yang menjadi prajurit baret merah tersebut. Jika hanya karena faktor ini rasanya sangat kerdil meski tahu cerita dari sang abang betapa hebatnya Prabowo dalam menjalankan tugas.

Tracking rekam jejak Prabowo mulai dilakukan dengan mengumpulkan bio data berisi perjalanan karier, bisnis hingga tudingan dari publik maupun lawan politik. Informasi kategori positif dan negatif mulai banyak mengisi otak, termasuk dari rekan-rekan di jejaring sosial media (Sosmed). "Mengapa pilih Prabowo, lihatlah dari Parpol pengusungnya. Kan banyak anggotanya terlibat korupsi," ujar seorang rekan yang berkomentar dalam status FB yang saya buat.

Setelah mencari data ternyata memang benar, anggota parlemen produk Pilegislatif 2009-2014 banyak terlibat korupsi, tak terkecuali dari Parpol pengusung Jokowi-JK di luar Nasdem yang memang Parpol baru. Tetapi akal sehat saya berkata, "Parpol yang leading mengusung Prabowo awalnya Gerindra karena Prabowo menjadi pucuk pimpinan dan yang membidani partai tersebut". Kalaupun terjadi koalisi dengan parpol lain itu karena tuntutan sistem perpolitikan.

Akhirnya perspektif dari parpol itu final dengan penekanan Prabowo yang tegas mewanti-wanti kader parpolnya agar tidak korup. Dari indeks persepsi korupsi untuk Gerindra se-nasional hanya 0,65 atau hanya 3 orang yang terlibat dan sudah dipecat. Terpaut satu tingkat saja dari PKS yang memiliki 2 kadernya terlibat korupsi. Sedangkan tertinggi PDIP 84 orang disusul Golkar 60 orang. Dalam kondisi ini diambil kesimpulan bahwa parpol pengusung Prabowo lebih sedikit mudharatnya.

Penelusuran ini masih belum cukup. Bayang-bayang untuk Golput masih ada dengan kekhawatiran munculnya korupsi berjamaah di tingkat elit. Namun dengan serta-merta terbantahkan setelah melihat sepak terjang Prabowo selama membesarkan partainya. Ditambah informasi dari media non mainstream soal karakter maupun kebiasaan Prabowo yang baru terekspose belakangan.

Rupanya Prabowo dulunya sangat sulit mengumbar sepak terjangnya ke media massa. Contoh kecil dari anak begawan ekonomi Sumitro Joyohadikusumo ini tentang 8 ribu anak asuhnya di Papua, sumbangan ke rakyat Palestina saat invasi Israel, menyantuni anak yatim, membangun masjid, surau dll, semua menggunakan dana pribadi dari jerih payahnya berbisnis halal.

Munculnya isu HAM 98 yang menyeret nama Prabowo bagi saya tidak mengagetkan, termasuk soal cucu pendiri BNI ini yang bercerai dengan anaknya Soeharto, Siti Hediyati alias Titik. Alur awal dari kehadiran dua faksi di tubuh TNI yang terbagi dalam TNI Merah dan TNI Hijau. Beruntung TNI tetap kembali ke khittahnya di garda terdepan pertahanan NKRI bersama rakyat. Prabowo tidak terbukti dikaitkan dengan HAM dan hanya menjadi korban akibat dirinya memegang sumpah dan janji Sapta Marga "setia pada negara dan patuh pada pimpinan"

Berbeda dengan perlakuan saya terhadap Prabowo, justru untuk Hatta Rajasa tidak terlalu ditelisik banyak. Hanya informasi alakadarnya saja plus mengikuti geraknya selama menjadi pimpinan PAN, menteri dan selama kampanye.

Saat pilihan sudah mulai mantap, tiba-tiba terusik lagi dengan celotehan rekan-rekan yang menganjurkan agar tidak taklid (ikut-ikutan) dan fanatisme membabi-buta. Tracking kembali saya lakukan dengan membandingkan visi misi kedua pasangan calon. Saya menjatuhkan pilihan pada pasangan yang visi misinya realistis dalam menangani persoalan bangsa.

Bagaimanapun saya harus cerdas memilih di saat Indonesia memerlukan uang untuk membiayai hidup rakyatnya. Bukankah yang pertama kali rakyat kecil butuhkan adalah kesejahteraan, pemenuhan hak-hak dasar seperti sandang, pangan, perumahan, jaminan keamanan dan kesehatan. Banyak orang menjadi pemarah dan bersikap brutal gara-gara tidak terpenuhinya hak-hak dasar tersebut.

Apakah Prabowo-Hatta mampu merealisasikan itu? bisa dilihat dari rancangan strategi penguasaan sumber-sumber daya alam di darat, laut dan udara. Semboyan 'tongkat kayu dan batu jadi tanaman' bagi Indonesia sangat riil. Dari sinilah kita bisa hidup jika dikelola dengan baik. Bukankah ini yang sejak dulu hingga perang kemerdekaan yang selalu diperjuangkan para pahlawan?

Bangsa luar selalu berebut kekayaan alam Indonesia karunia ilahi yang sangat berlimpah. Sampai saat ini pihak asing masih mencengkeramkan kukunya di Indonesia melalui penguasaan asset-asset penting. Merdeka hanyalah semboyan, sebab secara ekonomi bangsa ini masih dijajah dan menjadi kacung di negeri sendiri.

Belum lagi program yang hendak dijalankan untuk menutup potensi kebocoran dari berbagai sektor yang dalam analisis sementara jumlahnya sangat fantastis, ribuan triliun rupiah setiap tahunnya. Kebocoran kekayaan nasional ini jika ditanggulangi akan mampu membiayai program-program ekonomi.

Wajar jika Prabowo Hatta merujuk pada pasal 33 UUD 45 sehingga berkomitmen melindungi golongan rakyat tertinggal, investasi asing tanpa mematikan ekonomi kerakyatan, pemberian dana untuk desa dalam jumlah besar dan program cetak sawah 2 juta hektar. Yang terakhir ini sebetulnya sudah pernah ditempuh di zaman orde baru (tanpa harus antipati dengan istilah orde) dengan swasembada pangan.

Misi lainnya jika Prabowo-Hatta mendapat amanah rakyat adalah menyiapkan dua juta hektar lahan bio-ethanol guna menyiasati energi yang pelan-pelan akan habis dieksploitasi, infrastruktur jalan, rel kereta api, pelabuhan, tabungan haji dan lain-lain. Visi misi dalam bidang pendidikan, kesehatan, pertahanan keamanan, penyelesaian masalah tenaga kerja dan lainnya juga cukup masuk akal. Kita berharap income percapita (IPC) rata-rata rakyat Indonesia setiap bulannya akan naik menjadi Rp6 juta dari Rp3 juta yang ditargetkan di ujung masa pemerintahan 5 tahun.

Lalu bagaimana dengan satu pasang calon lainnya? hemat saya tidak perlu dikemukakan melalui tulisan ini. Anggap saja yang disajikan ini hasil dari pergulatan pemikiran panjang dari satu orang pemilih yang tinggal mencoblos di bilik suara dari ratusan juta pemilih lainnya di 516.142 TPS se-Indonesia.

Alasan lainnya, jika dipaparkan plus minus kedua pasang calon, bisa jadi akan berdampak pada ketidaksukaan para pendukung. Logika sederhana, siapa sih yang menyukai info negatif ketimbang pengagungan upaya pencitraan. Kalaupun ada info negatif terkadang hanya strategi dari pihak tertentu agar 'dikasihani' pemilih, seolah-olah pasangan yang dimaksud terdzalimi. Selamat Memilih....(bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun