Oleh: Alif Muhammad Taufiq, Rafi Rizqullah, Ridho Kurniawan, Teuku Aditya Rian Syaputra
Artikel Ini untuk sebagai pemenuhan tugas kuliah Isu Isu Kontemporer Pendidikan KewarganegaraanÂ
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi, yang resmi diatur oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 2017, mulanya datang dengan niat mulia: mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan dan akses yang adil bagi semua anak bangsa. Tujuannya jelas, agar tidak ada lagi "sekolah favorit" yang hanya diisi siswa berprestasi, dan semua sekolah diharap punya kualitas setara. Ide ini juga ingin mendorong pemerintah daerah untuk serius membenahi kualitas semua sekolah, bukan cuma segelintir saja.
Namun, seperti koin dua sisi, niat baik ini ternyata memiliki sisi lain yang tak kalah kompleks. Di lapangan, implementasi PPDB zonasi menghadapi banyak drama dan tantangan. Bukannya menyelesaikan masalah ketimpangan, tak jarang sistem ini justru menciptakan persoalan baru, dari manipulasi data sampai dampak psikologis pada siswa.
Dulu Beda, Sekarang Bagaimana?
Mari kita lihat ke belakang sedikit. Sebelum zonasi, sistem penerimaan siswa didominasi oleh nilai Ujian Nasional (UN) atau prestasi. Siapa yang nilainya tinggi atau punya prestasi gemilang, dia bisa memilih sekolah mana pun.
Kelebihan sistem lama:
Mendorong kompetisi belajar yang sehat.
Memberi penghargaan bagi siswa berprestasi.
Sekolah bisa fokus mengembangkan keunggulan akademis/non-akademis.
Namun, kekurangannya jauh lebih serius: