Mohon tunggu...
Ridho Al rasyid
Ridho Al rasyid Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Di atas langit masih ada langit....

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah filsafat dakwah

6 Oktober 2025   19:25 Diperbarui: 6 Oktober 2025   19:22 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Filsafat dakwah dapat dipahami sebagai cara berpikir yang mendalam mengenai bagaimana menyebarkan ajaran Islam secara bijaksana dan efektif. Dakwah bukan sekadar menyampaikan pesan agama, tetapi juga memahami prinsip-prinsip yang membuatnya berjalan sesuai tuntunan syariat dan nilai-nilai kemanusiaan. Awal mula konsep ini dapat ditelusuri sejak masa Nabi Muhammad SAW pada abad ke-7 M di Jazirah Arab. Beliau berdakwah dengan keteladanan, kesabaran, dan kasih sayang, dimulai dari lingkup keluarga hingga masyarakat luas. Al-Qur'an menjadi pedoman utama, menuntun umat untuk berdakwah melalui kebijaksanaan, nasihat yang baik, serta dialog yang santun.

Setelah Nabi wafat, dakwah diteruskan oleh para sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Mereka memperluas dakwah melalui ekspansi wilayah Islam, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan membangun peradaban yang adil dan berlandaskan ilmu. Pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah (abad ke-7 hingga ke-13), filsafat dakwah semakin berkembang. Pemikir besar seperti Imam Syafi'i dan Al-Ghazali membahas etika dalam berdakwah. Al-Ghazali, misalnya, dalam Ihya' Ulumuddin menekankan bahwa dakwah seharusnya dimulai dari pembenahan diri agar terhindar dari kemunafikan. Para ulama juga menyesuaikan metode dakwah dengan budaya lokal---seperti di Persia dan Andalusia---agar ajaran Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat setempat.

Memasuki era modern, khususnya abad ke-19 hingga ke-20, dakwah mengalami perubahan besar akibat pengaruh kolonialisme dan globalisasi. Tokoh seperti Muhammad Abduh di Mesir menyerukan pendekatan dakwah yang rasional, menggabungkan ajaran agama dengan kemajuan ilmu pengetahuan Barat. Di Indonesia, tokoh seperti Haji Rasul serta para ulama NU dan Muhammadiyah mengembangkan dakwah yang inklusif melalui jalur pendidikan dan organisasi sosial keagamaan. Di era digital saat ini, dakwah semakin dinamis dengan pemanfaatan media sosial sebagai sarana penyebaran nilai-nilai Islam, meski tetap berpegang pada prinsip kejujuran, kedamaian, dan tanpa paksaan. Tantangan baru seperti sekularisme dan radikalisme melahirkan pemikir kontemporer seperti Yusuf Qardhawi yang menekankan pentingnya dakwah yang moderat dan menghargai pluralitas.

Pada akhirnya, filsafat dakwah senantiasa berkembang dari masa ke masa---dari bentuk yang sederhana hingga kompleks---namun esensinya tetap sama: mengajak manusia menuju kebaikan dengan cara yang lembut, bijaksana, dan penuh hikmah. Nilai inilah yang membuat Islam mampu menyebar luas tanpa kehilangan jati dirinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun