Mohon tunggu...
Muhamad Baqir Al Ridhawi
Muhamad Baqir Al Ridhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lagi belajar nulis setiap hari.

Blogku sepi sekali, kayaknya cuma jadi arsip untuk dibaca sendiri. Hohohoho. www.pesanglongan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibadah dan Kekhusyukan

16 Februari 2021   14:00 Diperbarui: 16 Februari 2021   14:13 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Tanda-tanda ibadah kita yang sudah-sudah diterima adalah kita masih melakukan ibadah itu," kata seorang kiai pada suatu pengajian. Aku tidak tahu kalau ada ayat Qur'an atau hadits atau kitab kuning yang serupa dengan itu, tetapi aku setuju dengan ucapannya. Sebab kalau dilogikakan itu masuk akal. Masih melakukan ibadah itu berarti kita masih (atau sedang) istiqomah beribadah---atau setidaknya berusaha mempertahankan istiqomah ibadah itu. Dan kalau istiqomah, konon katanya, ibadahnya bernilai lebih dari 1000 kekeramatan wali.

Ketika lagi mengobrol dengan temanku. Aku pernah bilang itu. Dan habis itu dia membalas, "berarti salat kita pasti diterima ya. Salat kan wajib pasti tidak pernah tidak dilakukan." Lalu aku ber-iya. Tetapi sekarang agaknya aku tidak berani ber-iya lagi. Kenapa? Karena hidupku mengalami perubahan. Pengetahuanku bertambah. Yang tadinya aku tidak tahu, sekarang jadi tidak-tahu-nya berkurang.

Bagaimana bisa aku tidak berani jawab iya lagi? Menurut aku salat itu tidak sembarangan salat. Jika kemarin kita salat, sekarang juga, besok juga, dan seterusnya juga, belum tentu itu adalah salat yang sama. Maksudku salat kita sekarang dan kemarin bisa jadi berbeda kekhusyukannya. Mungkin kemarin pikiran kita penat mikirin bisnis, pekerjaan, tugas kuliah atau apalah, jadi saat salat yang ada di kepala kita bukanlah wujud ketundukan kita kepada Allah. 

Mungkin sekarang kita khusyuk tetapi itu terjadi hanya karena kita butuh banget bantuan Allah. Nah, kalau gitu kan nanti bisa kena sindir Allah, "Kok khusyuk cuma pas butuh saja ya". Mungkin besoknya kita salat hanya jungkar-jungkir karena kita sedang ditunggu teman kita. Mungkin di waktu lainnya, kita salat dan tanpa sadar tiba-tiba tasyahud akhir, lalu bingung, lalu salam. 

Rasanya seperti sekejapan mata. Karena salat hanya seperti aktivitas kebiasaan, sehingga terjadi secara mekanik, otomatis. Tapi akhirnya kita berpikir gampang, "ya sudahlah, yang penting sudah salat." Dan kemudian melakukan pembelaan diri, "Allah itu Maha Pengampun meski, salatku begini, tidak sujud syahwi, dan aku rasa jumlah rakaatku sudah pas kok. Maka berhentilah overthinking wahai diriku."

Aku kira setiap salat yang kita lakukan punya nilai berbeda-beda, seandainya Allah menilai. Eh, ya memang Allah selalu menilai sih. Gimana sih?! Tapi kita kan tidak bisa tahu nilainya. Karena banyak aspek penilaian Allah yang tidak bisa diraba manusia. Mungkin orang yang salatnya jungkar-jungkir pahalanya lebih banyak, atau lebih diterima daripada yang khusyuk, hanya karena dia sedang ditunggu orangtuanya untuk menyupirinya pergi untuk urusan genting. Bisa juga yang kelihatan tenang dan khusyuk salat di Masjid ternyata pahalanya sedikit, karena ada sedikit niatan pamer. Lagi pula ukuran khusyuk itu tepat persisnya kita juga tidak tahu.

Pada akhirnya kita tidak tahu salat--atau ibadah--kita diterima atau tidak. Kita hanya bisa berprasangka baik dan berusaha sebaik-baiknya waktu melakukannya. Selanjutnya kita pasrah. Allah Maha Tahu, Allah Maha Adil. Allah tahu persis bagaimana caranya membalas dengan setimpal. Dan hanya Allah yang lebih mengetahui.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun