Mohon tunggu...
Muhamad Baqir Al Ridhawi
Muhamad Baqir Al Ridhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lagi belajar nulis setiap hari.

Blogku sepi sekali, kayaknya cuma jadi arsip untuk dibaca sendiri. Hohohoho. www.pesanglongan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merenungi Kata-kata Ngaco Pidi Baiq

19 Januari 2021   16:54 Diperbarui: 19 Januari 2021   17:51 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagaimana yang kita tahu--atau fans novel/film Dilan tahu--Pidi Baiq kalau diwawancarai, selalu menjawab dengan kata-kata yang ngaco dan absurd. Tapi tidak tahu kenapa, kalau aku merenungkannya,  rasanya kok ada benarnya juga, ada hikmah yang dapat dipetik juga. Nah berikut adalah sedikit cuplikan kata-kata beliau yang aku renungkan dan kutemukan pelajarannya.

  1. Kan Saya Petani

"Kan Saya Petani, " ucap Pidi Baiq, penulis novel Dilan mengaku ketika diwawancara. Memang itu bukanlah kebohongan. Pidi Baiq itu betul-betul seorang petani. Tetapi untuk seorang yang multitalent seperti Ayah---begitulah kebanyakan orang memanggilnya---bisa buat lagu, bisa buat buku, bisa melawak dan bisa menggambar, mengapa dia lebih mau disebut "petani"? Ayah pun menjelaskan kalau sebutan penulis, atau penyanyi dan lainnya itu terlalu hebat. Dan sebutan itu cocoknya untuk orang yang menjalani itu secara profesional. Bukan seperti dirinya, yang menulis dan membuat lagu hanya waktu pingin saja.

Selanjutnya dia berkata, kalau ada orang yang bilang, Ayah, bukunya gak bagus. Dia jadi bisa bilang, kan saya petani. Terus, kalau ada orang yang bilang, Ayah lagunya jelek-jelek. Dia jadi bisa bilang, "kan saya petani."

Tetapi tunggu dulu, bagaimana kalau ini dibalik, Ayah yang bilang ke mereka, "saya yang petani saja bikin lagu. Masa' kamu yang vokalis band gak bikin? Saya petani saja bikin buku. Masa' kamu yang penulis gak bikin?"

Secara tersirat, Ayah Pidi Baiq itu sengaja menetapkan standar, label, atau identitas ke dirinya dengan tidak tinggi-tinggi. Atau bisa dikatakan juga 'rendah'. Mungkin itu dilakukannya supaya dirinya tidak kecewa atau marah, jika ada orang yang mengatainya. Atau jika dia tidak bisa berbuat banyak, atau menghasilkan sesuatu yang bagus. Bukankah kita semua tahu, semakin kita berharap semakin mungkin kita kecewa. Dan harapan itu identik, atau erat kaitannya dengan identitas yang kita lekatkan pada diri kita.

Misalnya, seorang pemusik, tentu punya harapan untuk bisa membikin lagu. Tetapi bisa membikin lagu itu sangat tidak ada kaitannya dengan seorang petani. Tidaklah mungkin seorang petani dituntut, disuruh bisa membikin lagu. Petani ya kerjanya bertani, tanggung jawabnya ya bertani.  Menanam, memanen, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. Tetapi jika seorang petani bisa membikin lagu dengan hasil yang buruk, itu sudah cukup membuatnya mencolok. Sudah cukup membuatnya berbeda. Sudah cukup membuatnya untuk bisa dikatakan hebat. Karena dia melakukan apa yang bukan di bidangnya dan bisa. Mungkin itulah yang dimaksud Ayah, dengan memakai standar rendah, supaya dirinya ringan dalam membuat karya.

Ayah juga punya trik yang dinamainya pesimis positif, begini penjelasannya: kalau kalian mau menembak perempuan. Katakanlah pada diri kalian kalau kalian bakal ditolak. YES! Lalu katakanlah ke dia bahwa kamu suka padanya. Jika ditolak berarti yes, itu seperti dugaan saya. Tidak apa-apa kalau ditolak, tapi sisi positifnya kan kita sudah berani menyatakan. Jika diterima ya sudah tinggal terima saja.

  1. Tidak Mencari Uang

"Saya tidak mencari uang, karena saya tidak merasa kehilangan uang," ucapan Ayah itu selain sebagai bentuk candaan yang bisa ditanggapi dengan, "ya betul juga sih," menurutku kalimat Ayah itu juga adalah bentuk sindiran (atau istilah kerennya itu, kalau tidak salah, sarkasme) ke orang yang hidupnya untuk mencari-cari uang.

Tetapi aku peringatkan juga pada kalian dan aku (yang terutama) untuk berhati-hati. Jangan sok-sokan tidak merasa. Lihatlah, apa yang sudah kita lakukan? Apa yang kita nomor-satu-kan dalam tindakan kita?

Ingat, bukan uang yang harusnya kita cari. Uang itu akibat dari apa yang kita perbuat. Uang itu hanya alat. Yang penting itu kan tercapainya suatu maksud. Jadi tanyakan ke diri kita masing-masing, apa yang sesungguhnya mau kita capai dalam hidup ini? Kalau ada uang, uangnya buat apa?

  1. Tujuan di Dunia ini Untuk Salat Jumat

Ayah pernah bilang, "tujuan saya di dunia ini untuk salat Jumat. Senin sampai Kamis itu persiapan. Dan Sabtu, Minggu itu evaluasi," lalu dia memperlihatkan logo The Panasdalam: senyuman dengan gigi terlihat. He he he. Mendengar ucapan Ayah itu, tiba-tiba aku teringat ucapan seorang ustadz dalam suatu pengajian (aku lupa namanya), "kita hidup itu sebetulnya untuk salat 5 waktu. Kerja itu hanyalah selingan saat menunggu waktu salat tiba." Atau mungkin kita bisa meminjam cerita tulisan Puthut Ea yang berjudul "Ibadah sebagai Selingan", untuk menjelaskan kalimat ustadz itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun