Kemarin, seorang British, Mr. John, nelepon saya. Pengantarnya singkat banget. Hanya "How are you?" dan "It's been for some time we haven't met." Sesudah itu, langsung to the point. Tidak ada basa basi.
Lain halnya kalau ngomong dengan sesama teman orang Indonesia. Itu yang namanya Hape, nyampai panas di telinga, belum juga selesai obrolan. Dua jam pun betah, padaha fokusnya tidak kemana-mana.
Hanya saja ada perkecualian. Meski sama-sama asal Indonesia, ada saja orang yang tidak punya waktu untuk ngomong. Jangankan ngomong, njawab "Chat' di WA saja, gak ada waktu. Padahal, only yes or no questions.
Hutang Budi Dibawa Mati
Yang paling sulit dalam pertemanan adalah kalau sudah dibantu orang. Bukan apa-apa sih. Saya aja yang mungkin 'baper'. "Kan harus gantian balik membantu." Itu pertanyaan wajar bagi setiap orang yang punya perasaan sesudah dibantu orang lain. Lagian, hidup ini kan memang harus take and give? Jangan cuman take, take and take. Pelit amat! Masak, bisanya hanya minta?
Pantesan, kapan itu temanku ngasih Pulsa Rp 10.000. Koq gratis? Dia bilang, "Gak apa-apa. Tidak usah dibayar." Lantas saya mikir. Kenapa ya? Oh....iya.....saya baru ingat. Kapan itu dia pernah saya bantu. Tuh kan......?
Jadi, jangan kaget. Sekalipun ada orang-orang yang ikhlas dalam hidup ini, tidak sedikit pula orang yang suka ngitung. How much have I given him/her? Berapa sih yang sudah saya berikan kepada nya?
Contoh nyata itu ada pada budaya "Mbecek" di Jawa. Yakni ngasih hadiah berupa uang atau barang, saat hadir ke sebuah hajatan. Memang ada orang yang tidak nyatat berapa jumlah dia berikan kepada orang lain. Namun rata-rata orang kita ingat, berapa yang telah disumbangkan. Dalam tradisi Jawa itu erat melekat.
Jadi, walaupun orang kita tidak mengenal pepatah "There is no free lunch" atau "Tidak ada makan siang yang gratis", orang kita mengenal "Saling memberi dan menerima".
Ini bukan puisi lho ya?
Hutang Budi Dibawa ke Politik