Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Memburu Keharmonisan antara Beban, Lingkungan, dan Upah Kerja

25 Juli 2020   07:18 Diperbarui: 25 Juli 2020   14:46 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja (Sumber: headtopics.com)

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Pertama adanya kesesuaian antara keterampilan yang kita miliki dengan kebutuhan ketermpilan di tempat kerja. Penguasaan keterampilan ini penting karena terampil tidaknya inilah yang membuat kerja jadi lancar. Saya lulusan pendidikan keperawatan, otomatis saya mencari kerja yang ada hubungan dengan latar belakang pendidikan dan keterampilan saya.

Walaupun demikian, ada orang-orang yang ingin mencoba keterampilan baru. Ini tidak salah. Hanya saja butuh waktu lebih lama. Jika tidak, pengetahuan serta keterampilan yang di dapat di bangku kuliah akan mubadzir. Orang yang tidak menguasai keterampilan di tempat kerja merasa beban kerja berat. Sebaliknya, mereka yang mengetahuinya, akan merasa ringan.

Kedua, masalah lingkungan. Pak Satpam yang saya sebutkan di atas berhenti bekerja karena merasa tidak lagi nyaman. Sayangnya, coping skill-nya kurang. Padahal, mestinya bisa diselesaikan dengan baik. Setiap persoalan kerja pasti ada solusiya. Kecuali yang berat dan menemui jalan buntu. 

Lingkungan kerja seperti sikap dan watak rekan kerja, fasilitas kerja, sarana dan prasarana, dukungan keluarga, transportasi, suasana masyarakat sekitar, lokasi, makanan, hingga iklim, semuanya berpengaruh dan tidak bisa disepelekan.

Ketiga, persoalan upah. Ini juga memegang peranan amat besar. Biasanya upah adalah pertanyaan pertama yang ditanyakan oleh calon pekerja. Karena dengan upah mereka bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk apa kerja jika tidak bisa bayar kontrakan, transport, makan hingga beli pulsa kurang? 

Hanya saja, adakalanya orang rela bersabar, sehingga bersedia menunggu, meskipun saat ini mungkin berstatus magang, atau honor dengan jumlah Rupiah masih super mini.

Harmoni
Asisten Rumah Tangga (ART) rumah sebelah, kapan itu sudah tidak masuk lagi. Kata tuan rumah, orangnya minta dinaikan gajinya. Karena merasa sudah bertahun-tahun ikut mereka, akhirnya disetujui. Upahnya nai dari Rp 1.2 juta menjadi Rp 1.5 juta per bulan. Padahal, ijazahnya hanya SMP.

Teman-teman saya lulusan sarjana keperawatan, jauh lebih susah mencari kerja dari pada seorang ART. Makanya ada yang rela dibayar Rp 300 ribu di Puskesmas. Katanya, itu jauh lebih baik ketimbang nganggur. Ini ironi.

Tetapi tidak sedikit pula kasus di mana meskipun dibayar mahal, ternyata dia tidak betah. Orang Aceh banyak yang bekerja di Malaysia. 

Sebelum Corona, alur air traffic (jalur udara) sangat padat diisi penumpang acal Aceh untuk penerbangan Banda Aceh-Kuala Lumpur. Meski dengan iming-iming bayaran gede, nyatanya ada saja yang hanya betah sebulan atau hanya tiga bulan, kemudian balik ke Bumi Rencong.

Sebaliknya, ada yang betah kerja sepuluh tahun lebih jadi tenaga honorer di rumah sakit, padahal gaji tidak seberapa. Boleh jadi karena sudah nyaman, atau karena tidak punya pilihan? I have no idea. Ini bukti bahwa uang bukan segalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun