Sejauh pengamatan, saya tidak pernah melihat persyaratan sebuah pekerjaan yang tidak menyertakan jenjang pendidikan. Termasuk gelar. Dari pejabat hingga pelayan toko. Kecuali Asisten Rumah Tangga (ART) lokal. Karena ART mancanegara, memang tidak gelar, tetapi juga meminta persyaratan minimal pendidikan.
Saya punya kenalan seorang perawat yang memiliki pengalaman kerja di industry cukup lama. Ijazahnya Diploma. Ingin ikut program kerja di Belanda. Namun karena persyaratannya harus Sarjana, dia terhambat.
Padahal, bahasa Inggrisnya OK. Pekerjaan, pasti tidak kalah dengan sarjana yang hanya 2-3 tahun pengalaman kerja. Etos kerja juga tidak akan kalah dengan yang muda-muda.
Aditya, sebut saja demikian nama perawat di atas, sempat 'kecewa' meski tidak lama. Gelar, banyak menjadi persyaratan utama di berbagai tempat kerja. Di dalam maupun luar negeri. Meskipun dia tahu tidak semua tempat kerja khususnya di luar negeri, memberlakukan kebijakan serupa.
Akan tetapi bisa menjadi penghalang besar bagi banyak orang yang mampu bekerja, namun tidak bisa melanjutkan kuliah untuk mendapatkan gelar ini. Ini menurutnya, diskrimasi model baru. Penjajahan perolehan kerja dalam bentuk modern. Â
Kenalan saya lainnya, Pak Hadi namanya, seorang perawat senior di sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Magetan-Jawa Timur. Beliau mengatakan bahwa lulusan sarjana keperawatan saat ini membludak. Namun performa kerja mereka tidak seperti harapannya.
Mereka sangat diuntungkan dengan pendidikan dan gelarnya. Bisa langsung Golongan IIIA, gaji besar, bahkan tidak jauh beda dengan gajinya. Padahal, pengalaman kerja beliau sudah 30 tahun.
Dalam pengamatannya, sebagai seorang sarjana mestinya memiliki performa kerja yang lebih, bukan hanya pintar computer, namun juga terampil, berwawasan luas serta memiliki kemampuan analisis yang tinggi .
Apa yang disampaikan oleh Pak Hadi, dan pengalaman mas Aditya, merupakan fenomena di lapangan. Bahwa ijazah dan gelar saat ini sangat berperan dalam perolehan kerja melebihi arti sebuah keterampilan. Padahal, dalam soal kerja, keterampilan dan komunikasi, justru yang lebih utama dari pada sekedar selembar ijazah maupun gelar.
Ini hanya sederetan kecil cara-cara modern perusahaa atau intansi dalam menyeleksi calon karyawannya. Salah satu hambatan terbesar pengusaha adalah: banyaknya kandidat, persaingan ketat, serta quality assurance. Oleh sebab itu, mereka gunakan beberapa tahapa sistematis agar bisa diminimalisasi prosesnya. Singkat, efektif, efisien.
Indonesia belum memiliki system seleksi alami terkait bagaimana mendapatkan karyawan yang berkualitas, kecuali ijazah dalam tahap awal. Kita tidak bisa mengukur kemampuan kerja seseorag pada awal hanya ketemu lewat interview. Sementara, pelamar kerja berjubel.Â