Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Disiplin dalam Dongeng

5 Juni 2020   07:08 Diperbarui: 5 Juni 2020   08:12 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau mau jujur, saya termasuk orang yang 'sering' melanggar aturan lalu lintas. Kapan itu, sempat ditilang, karena melanggar rambu-rambu. Mestinya dilarang putar balik, namun saya lalukan. Pada saat yang sama, ada polisi lewat. Saya pun disuruh berhenti. Dan, bisa ditebak. Saya sudah siap dengan konsekuensinya, karena merasa salah. 

Tapi saya tidak mau 'damai' di tempat. Ditilang pun saya akan bersedia ikut aturan. Saya akan bayar untuk negara. Duit masuk kas negara. Saya tidak akan bersedia mambayar ke kantong pribadi oknum. Saya ingin tunjukkan kepada diri ini, bahwa meskipun melanggar aturan rambu lalu lintas, masih ada sisa-sia kedisiplinan dalam diri saya.

By the way, apa arti disiplin? Saya sempat mikir. Saya buka kamus. Walaupun bukan ahli bahasa, tapi dari cara pengucapan saya tahu bahwa 'disiplin' itu bukan berasal dari bahasa kita. 'Disiplin' diadaptasi dari Bahasa Inggris 'Disciple' artinya 'pengikut'. Etimologinya berasal dari Bahasa Latin 'discere' artinya 'belajar' (Masmanroe.com). Ada beberapa pengertian disiplin menurut sejumlah ahli. 

Menurut Gary Dessler (2003), disiplin adalah suatu prosedur yang mengoreksi atau menghukum  bawahan karena melanggar aturan atau prosedur. James Drever menyebutnya sebagai kemampuan seseorang mengendalikan perilaku sesuai hal-hal yang telah diatur. Bejo Siswanto (2005) mendefinisikan sebagai sikap menghormati, menghargai, patut dan taat terhadap aturan yang berlaku serta tidak mengelak menerima sangsi bila melanggarnya.

Dari ketiga pengertian di atas jelas bahwa disiplin adalah sikap patuh terhadap aturan, baik secara pribadi, institusional, sosial kemasyarakatan maupun yang ditentukan oleh negara. Disiplin mencakup disilin terhadap diri sendiri bisa berupa waktu, kegiatan (belajar, mandi, cuci, masak, ibadah dll), pola hidup (makan, minum, olahraga), bisa terhadap masyarakat misalnya bayar iuran warga, buang sampah pada tempatnya. Disiplin pada negera berupa kerja, serta menaati aturan-aturan yang ditetapkan Pemerintah (bayar pajak, rambu lalu lintas, bayar tariff listrik, air, membuang sampah pada tempatnya, dll).

Ironisnya, setiap hari selalu ada saja hal-hal yang kita lihat di lapangan sebagai kenyataan bahwa masyarakat kita jauh dari kata taat terhadap definisi sebagaimana yang disebutkan oleh para ahli di atas. Contoh yang amat sering kita temui adalah pelanggaran aturan/rambu lalu lintas dan membuang sampah. 

Dalam konteks pribadi, lebih sulit lagi. Kesadaran untuk belajar tepat waktu, memanfaatkan potensi, mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat, hemat, menabung, berkreativitas guna meningkatkan potensi diri dan sebagainya, kita masih jauh dari harapan. Padahal kita sudah menyadari manfaatnya. Akan tetapi kita tidak melakukan. Ini bukti bahwa disiplin masih sebatas pada aturan di atas kertas. Beda sekali dengan orang-orang Jepang, Korea, Jerman serta orang Barat lainnya secara umum. Disiplin mereka sudah membudaya.

Kita akui ada beberapa factor yang mendukung mengapa disiplin di antara masyarakat kita belum membudaya. Pertama karena kebiasaan. Kita sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Biasa melihat orang membuat sampah dari dalam mobil. Biasa buang sampah botol minuman kemasan, buang untung rokok.

Yang kedua, permisifisme, yakni kebiasaan seolah-olah 'diizinkan', tidak terjadi apa-apa. Meski melanggar, toh tidak dihukum. Akibatnya susah dihilangkan. Buang sampah di pinggir jalan juga tidak dilarang. Tidak belajar, paling nanti juga dapat nilai Enam. Sekarang tidak dikerjakan, besok juga masih ada waktu. Tidak segera dilakukan, paling-paling bos tidak marah, karena masih ada hubungan keluarga.

Yang ketiga, tidak didukung oleh lingkungan. Lihat saja di dalam kendaraan umum. Ibu-ibu hamil tua, orang lanjut usia berdiri berjam-jam di bus, sementara anak-anak muda duduk tidak peduli pada mereka. Kursi-kursi di bus, angkot, pesawat, ditulisi macam-macam istilah kadang 'kotor' artinya, tapi kita cenderung 'diam'. Ini sama halnya dengan pembiaran.

Dampaknya mengkarat, sulit dihilangkan. Akibatnya, kita akan mengalami kesulitan beradaptasi ketika suatu saat dihadapkan pada lingkungan baru yang menuntut disiplin tinggi, misalnya ketika kerja di luar negeri, bekerja dengan orang asing, kerja di bawah manajemen Barat dengan aturan ketat. Kita akan tersiksa karena tidak terbiasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun