Mohon tunggu...
Ricky A Manik
Ricky A Manik Mohon Tunggu... Peneliti -

belajar untuk menjadi kuat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

LGBT: Kemungkinan Ada pada Diri Kita

26 Mei 2017   07:49 Diperbarui: 26 Mei 2017   09:34 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa tahun yang lalu pernah tersiar kabar bahwa Menristek semasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, M. Nasir pernah membuat pernyataan pelarangan bagi kaum LGBT masuk kampus meskipun telah diklarifikasinya. Pernyataan ini sontak menuai banyak respon karena mengandung paradoksal. Begitu juga dengan deklarasi yang dibuat oleh Fisipol Universitas Jambi dan Universitas Andalas (pernyataan dari Unand ini kemudian dicabut kembali) yang menolak LGBT masuk kampus. Keparadoksalan tersebut muncul karena dunia akademisi dan penelitian yang seharusnya memberikan sudut pandang tertentu dalam suatu fenomena atau kejadian malah membuat cara pandang yang sempit dengan dikotomi baik-tidak baik, boleh-tidak boleh, normal-abnormal, dan seterusnya. Dunia akademisi terutama ilmu-ilmu sosil yang seharusnya melakukan riset-riset terkait LGBT tersebut, memberikan pemahaman akan keberadaan sebuah kaum bukan malah ikut-ikutan mendiskreditkan mereka atau malah melenyapkan hak-hak mereka untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

Bahasa Sebagai Konstruksi  

Secara biologis, jenis kelamin terbagi atas dua macam, yakni laki-laki (penis) dan perempuan (vagina). Pembagian ini kemudian disertai dengan tuntutan dan peran sosial atau gender. Tuntutan gender biasanya disertai dengan orientasi seksual yang heteronormatif. Artinya, laki-laki biasanya harus maskulin dan menjalin hubungan dengan perempuan. Sedangkan, perempuan seringkali dituntut untuk menjadi feminin, jatuh cinta dan menikah dengan laki-laki, mempunyai anak dan melayani suami.

            Tuntutan dan peran sosial (Simbolik) inilah yang sepertinya mau tidak mau harus diterima dan diinternalisasikan pada diri subjek (laki-laki atau perempuan). Mengapa manusia cenderung harus menerima identitas dirinya yang seolah ditakdirkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis membuat satu pertanyaan lagi, yaitu: mengapa manusia ketika ia dilahirkan sebagai seonggok daging harus dilekatkan identitas bagi dirinya, seperti pemberian nama dan jenis kelamin? Lacan menjawabnya ada pada ranah Simbolik, yakni bahasa. Sebab, tatanan sosial-kultural di mana subjek itu dilahirkan dikonstitusi oleh bahasa. Manusia (subjek) untuk dapat dikenali dan masuk dalam realitas kebudayaan adalah dengan bahasa sebagai satu-satunya cara menuju ‘ada’nya. Gender (laki-laki dan perempuan) merupakan proses ‘penerjemahan kultural’ yang dilakukan oleh bahasa. Bayi yang terlahir harus diteguhkan dan ditahbiskan oleh bahasa, seperti kata “Aku” dan pembubuhan jenis kelamin “laki-laki” dan “perempuan”.

Menurut Lacan, ini adalah fase Simbolik di mana sang bayi kehilangan otoritas dirinya. Ia harus “kalah” oleh otoritas “Sang Ayah” yang membawanya pada ancaman kastrasi. Sang Ayah adalah pusat dari sistem yang mengatur struktur bahasa. Jadi, mengapa manusia harus menerima identitas yang ditentukan oleh bahasa adalah karena manusia sedari awal telah kehilangan otoritas dalam menentukan dirinya sendiri dan adanya ancaman kastrasi (kehilangan eksistensi). Subjek harus meleburkan dirinya ke dalam dunia simbolik bentukan sosial, tanpa mempunyai akses untuk mengubahnya. Defenisi tentang dirinya dan eksistensinya ditentukan oleh keberadaan yang lain (the other) di dalam sebuah relasi psikososial yang kompleks.

            Kalau bukan karena bahasa, manusia tidak akan didefenisikan sebagai perempuan dan laki-laki, tidak ada defenisi penis dan yang bukan penis. Implikasi dari hal ini adalah orientasi seksual manusia juga bukan bersifat heteroseksual semata. Kemunculan LGBT merupakan temuan bahwa orientasi seksual bukan hanya heteroseksual saja. Apakah keberadaan LGBT ini merupakan penyimpangan atau gangguan seksual seperti yang dikemukakan oleh Soewardi? Dalam laporan terbaru dari penelitian Human Genom Project (Proyek Gen Manusia), menyatakan bahwa potensi homoseksualitas inheren di dalam setiap orang. Struktur gen manusia sebenarnya compatible untuk perempuan. Kromosom Y yang menjadikan seseorang laki-laki, sebenarnya merupakan penyimpangan terhadap susunan kromosom manusia. Hanya saja, di dalam diri setiap manusia kadar penyimpangannya berbeda. Bila penyimpangan itu bersifat total, maka manusia itu menjadi laki-laki sepenuhnya, sedangkan jika penyimpangan itu hanya sedikit atau sebagian saja, maka muncullah manusia-manusia yang lain, termasuk homoseksual. Kemudian, potensi homoseksual yang berbeda-beda dalam diri setiap orang itu dipengaruhi juga dengan faktor lingkungan atau sosial.


Sudut Pandang Psikoanalisis

Secara psikoanalisis, bayi yang terlahir tidak menentukan jenis kelamin yang diinginkannya sendiri, yang menentukan bahwa bayi itu adalah ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’ adalah tatanan sosial (bahasa) dengan segala hukum yang berlaku atasnya. Hasrat pertama bayi sebelum mengenal dirinya dalam konsep psikoanalisis adalah  ibu. Hal ini menandakan bahwa bayi menginginkan adanya kesatuan dan kepenuhan terhadap dirinya. Akan tetapi, pengenalannya akan bahasa yang melekatkan dirinya pada identitas bentukan sosial membuat bayi harus kehilangan hasrat kesatuan dan kepenuhan pada dirinya.

            Rasa kehilangan ini membawanya untuk selalu mencari kepenuhan dan kesatuan diri (Yang Real). Hidup manusia dianggap hanyalah melakukan pencarian akan yang hilang bagi dirinya. Jika seorang bayi perempuan yang sedari awal berhasrat pada ibu namun pada akhirnya harus berkonfrontasi dengan prinsip realitas (Yang Simbolik) bukan berarti hasratnya terhadap ibu (perempuan lain) hilang. Hasrat ini tetap mendekam dalam ketidaksadaran dan memanifestasikannya dalam bentuk-bentuk yang lain, seperti mimpi, kesalahan ucap, dan gejala. Prinsip realitas yang direpresentasikan oleh nilai atau norma dalam masyarakat menuntut normalitas laki-laki yang harus menyukai perempuan dan sebaliknya. Nilai atau norma dalam masyarakat adalah kristalisasi nilai kultural yang bekerja secara efektif melalui larangan dan hukuman. Larangan dan hukuman tesebut bekerja secara tertulis (hukum legal) dan lisan (psike massa). Pada subjek, larangan dan hukuman menyerang dan mengontaminasi kesadaran (berupa rasa takut dan bersalah) (Hartono, 2007: 16). Artinya, norma dan nilai yang diciptakan adalah untuk kepentingan tertentu, yakni keberlangsungan hidup yang dianggap harmonis. Lacan justru memiliki pandangan yang berbeda mengenai kepentingan ini, baginya, hidup itu sendiri sudah bersifat patologis, penyakit. Pengertian Lacan disini adalah bahwa masalah yang mendera kehidupan manusia adalah penyakit. Tidak ada satu orang pun yang luput dari penyakit (masalah hidup). Orang harus dihadapkan pada masalah orientasi seksnya yang di lingkungannya dianggap menyimpang. Orientasi seks LGBT dianggap masalah karena tidak sesuai dengan orientasi seks yang heteronormatif.

            Perihal orientasi seks ini, Lacan membedakan antara jenis kelamin seseorang dengan struktur psikisnya; seseorang yang mempunyai penis mungkin mempunyai struktur psikis wanita, dan seseorang yang mempunyai rahim dapat menjadi seoarang pria. Disini, laki-laki dapat beranggapan bahwa dirinya adalah wanita, mencintai dan dicintai serta berhasrat dan dihasrati terhadap laki-laki lain, begitupula sebaliknya, perempuan berfikir bahwa dirinya laki-laki dan keinginan mencintai dan dicintai perempuan. Bagi Lacan, tidak ada defenisi yang jelas antara laki-laki dan perempuan, sebab adanya kecenderungan anak putri mengidentifikasi dirinya dengan ayahnya  dan anak putra menjadi seperti ibunya. Menurut Hill (2002: 98) seksualitas manusia bukan “suatu nilai yang diberikan”, sesuatu yang artinya tetap, melainkan sesuatu yang merupakan bagian keanekaragaman yang tak terbatas dari kebudayaan dan bahasa. Maka dari itu, seksualitas mempunyai nilai simbolis, dan lebih banyak ditentukan oleh bahasa dari pada oleh jenis alat kelamin.

            Seksualitas orang dewasa itu seperti hubungan anak dengan pengasuh yang menjadi prototipe-nya. Seluruh hubungan anak dengan pengasuhnya mau tak mau didasarkan pada perihal tidak memperoleh apa yang dikehendakinya, pada terbentuknya ketakcocokan atau ketiadaan hubungan antara pengasuh dan anak. Sebab jika hubungan anak dan pengasuh itu sempurna dengan setiap kebutuhan anak selalu terpenuhi, maka anak tidak akan pernah belajar berbicara dan masuk dalam dunia bahasa. Jadi, hubungan seksualitas menurut Lacan hanyalah permainan bahasa. Heteroseksual dan homoseksual tidak lain hanyalah permainan bahasa itu sendiri yang menentukan hubungan seksual seseorang. Dan bahasa di sini, memiliki kecenderungan membawa kepada keambiguitasan identitas diri subjek. Pada satu sisi, bahasa seolah memberikan keutuhan identitas, namun di sisi yang lain bahasa membuat diri semakin berkekurangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun