Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Merekam Lembata, Merekam Ketidaksempurnaan

17 Mei 2021   22:03 Diperbarui: 17 Mei 2021   22:14 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pada suatu hari, tiga orang seniman visual asli Lembata bertemu di sebuah Kedai Kopi. Dua dari mereka adalah sineas dan satunya adalah videografer yang sedang merintis jalan menjadi youtuber. Saat itu, bertepatan dengan peringatan Hari Film Nasional, 30 Maret 2021, dilangsungkan pemutaran dua film pendek karya dua sineas tadi yakni Elmo Alessio dan Aldino Purwanto. 

Keduanya sudah bersahabat sejak lama dan banyak terlibat dalam karya-karya visual bersama di Lembata. Elmo dan Aldino bertemu dengan Yoris Wutun, videografer muda, yang kebetulan hadir dalam acara pemutaran film indie tersebut. Yoris masih studi hukum di Jakarta. Namun, minatnya terhadap dunia visual di atas rata-rata. 

Kemampuan dia belajar secara otodidak patut diacungi jempol. Ini yang membuat putra kampung Paubokol itu tertarik berkenalan dengan Elmo dan Aldino yang sudah lama berkecimpung di dunia perfilman. Gayung bersambut. Ketiganya mulai terlibat diskusi bersama dan menggarap beberapa karya video kecil-kecilan. Dalam diskusi itu, Yoris juga bertemu dengan Yoman Making yang sebelumnya sudah pernah ada dalam rumah produksi 13 Frame mengerjakan film berlatar budaya berjudul Bajo.

Secara pribadi, Yoris kagum dengan dua film yang ditayangkan pada peringatan hari fim nasional. Satunya karya Elmo Alessio bersama rumah produksi 13 Frame berjudul Ama Lake dan satunya lagi karya Aldino bersama rumah produksinya Inama Studio berjudul Keru Baki. Secara garis besar, Ama Lake, yang mendapat apresiasi positif dari pecinta film di Lembata, mengangkat tema 'ketidakadilan sosial' yang ada di Lembata. Dua orang anak sedang bermain-main di hutan bakau Ile Ape dan terlibat pembicaraan yang alot tentang masalah sosial di Lembata dengan gaya tutur seorang bocah polos. Tema pembicaraan mereka politis dan absurd jika disematkan pada mulut anak kecil. 

Elmo Alessio sebagai sutradara tidak pernah berkomentar soal ini. Tapi memang dia pun tak wajib buka suara perihal absurditas ini. Anak dan pembicaraan yang politis adalah simbol paling tegas tentang level akut permasalahan sosial di Negeri Ikan Paus ini. Jika mau diumpamakan, bahkan seorang anak pun sudah paham soal masalah infrastruktur jalan, antrian BBM, penebangan bakau, pohon pandan dan korupsi yang ada di depan mata. Ini melukiskan betapa mendarah dagingnya masalah-masalah itu hingga pikiran anak pun 'tercemar'.

Bagi Yoris, seberat apapun kandungan politis sebuah film, karya seni tetap sebuah karya seni. Ada lintasan rel berbeda yang dilalui seorang sineas. Lintasan itu tidak eksklusif, tapi hanya orang yang punya pilihan hidup 'menjadi sunyi di dunia yang ribut' yang bisa bertahan pada lintasan rel itu. Jika ada politisi yang tersinggung dengan sebuah karya seni semacam itu maka waktu dan tempat dipersilakan karena lintasan itu memang tak bisa membuat orang merasa nyaman dan tenteram sepenuh waktu.

Lain lagi dengan film Keru Baki. Tidak seperti simbol-simbol Ama Lake yang eksplisit, Keru Baki lebih mengajak penonton untuk bermeditasi dengan alam Lembata yang sakral. Ini diakui oleh pegiat teater Yoman Making yang sudah beberapa kali menggarap karya berlatar alam dan lingkungan Lembata khususnya di Ile Ape. Yoman dan Yoris, dua anak muda yang bertemu pasca pemutaran film tersebut, banyak membahas film Keru Baki. Yoman memuji daya imajinasi sang sutradara yang menggali lagi alam yang sakral di tengah isu alam yang sekarat. Sementara Yoris menyanjung daya jelajah visual yang keluar dari pakem film komersial.

Keru Baki, kata Aldino, adalah jenis film ekspermental, jenis visual yang sering dia garap. Tapi di mata penonton yang kritis, film yang dibintangi Joni Kayowuan ini, menjadi tanda alam-kalau tidak mau disebut tanda visual-krisis alam yang sedang dan akan terjadi. Yoman pernah berujar kalau Keru Baki telah mengirim sinyal kerusakan alam Lembata di masa depan sembari menawarkan solusi dari kearifan lokal warisan nenek moyang.

Tragedi bencana banjir dang longsor yang melanda Lembata pada 4 April 2021 membuat Yoris dan juga sobatnya Yoman berpaling lagi pada Keru Baki. Untuk keduanya, kandungan nilai dalam film itu adalah jawaban dari semua tragedi yang terjadi. Kenapa kita tidak kembali saja pada tradisi nenek moyang dan ritual-ritual adat yang menempatkan alam pada pusat kehidupan manusia? Pertanyaan ini mengusik sekaligus menantang. Mungkinkah?

Elmo Alessio, Aldino Purwanto, Yoris Wutun dan Yoman Making, adalah sedikit dari anak muda yang gelisah dengan situasi tanah kelahiran mereka. Kegelisahan mereka seringkali melahirkan karya, entah film, entah foto atau entah teater. Tapi bukan itu soalnya. Setiap kali mereka mengangkat kamera, memasang lensa dan merekam Lembata, yang mereka temukan adalah ketidaksempurnaan.  

Persis seperti seorang fenomenolog, mereka merekam apa yang tampak (fenomena) yang mengarah kepada kesadaran mereka. Fenomena memang tidak pernah tampak apa adanya. Selalu bisa dipastikan ada lapisan-lapisan rumit yang juga ada di balik fenomena. Seorang seniman visual yang tidak cepat berpuas diri pasti akan berusaha menelusur lebih jauh, menggali lebih dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun