Status virus corona telah dinaikkan oleh WHO menjadi 'pandemi'. Usai menetapkan status virus covid-19 ini, seperti dilansir Time, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, direktur jenderal WHO, menjelaskan bahwa pandemi adalah kata yang jika disalahgunakan, dapat menyebabkan ketakutan yang tidak masuk akal.
Kata pandemi setidaknya mengandung arti meningkatnya wabah, jangkauan penyebaran penyakit yang lebih luas disertai penularan yang terjadi dengan cepat. Menaikkan status corona menjadi pandemi sama dengan menaikkan derajat kepanikan/ketakutan dunia. Yah, sebuah sifat manusiawi yang tak bisa dihindari oleh siapapun, karena itu ketakutan mesti dirasionalisasikan. (baca: Richard Toulwala, Merasionalisasikan Ketakutan)
Baca Juga:Â Ini
Ketakutan yang dirasionalisasikan akan melahirkan sifat antisipasi yang cerdas. Sikap antisipasi lantas mengubah ketakutan menjadi kewaspadaan yang logis. Saya mengatakan kewaspadaan yang logis karena ada anti tesis darinya, yakni kekacauan yang tercipta dari ketakutan.
Kepanikan global terhadap pandemi virus corona, membuat negara-negara di dunia menaikkan derajat sikap kewaspadaan. Namun demikian, ada negara yang 'sok kebal' terhadap virus tersebut. Yah, Indonesia salah satunya karena ketika virus corona belum menggila, Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto pernah meremehkan cepatnya penyebaran virus corona. Pernyataannya seolah-olah Indonesia kebal corona.
Dalam kemelut corona dan keapatisan Pemerintah Indonesia, 'Tuhan' justru lebih dahulu mengingatkan kita akan pentingnya upaya pencegahan virus corona. Upaya 'Tuhan' terejawantah dalam keputusan para pemuka agama terkait penyesuaian ritual keagamaan dengan potensi keterjangkitan virus corona.
Sebagai contoh, pada 3 Maret 2020 lalu di laman Tirto.id, Dipna Videlia Putsanra menulis tentang bagaimana Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) memberikan himbauan pencegahan virus corona covid-19 di lingkungan sekitar dan di gereja. Upaya ini justru mendahului kebijakan Pemerintah Indonesia yang baru belakangan ini huru-hara mengeluarkan berbagai kebijakan dan surat edaran. Sekarang, Pemerintah Indonesia justru kalang kabut ketika penyebaran virus corona meningkat begitu cepat dalam hitungan jam dan hari.
Ketika 'Tuhan' kala itu, dalam suara-suara pemuka agama turun tangan meminimalisir penyebaran virus covid-19, pemerintah justru sebaliknya tak bergeming. Malahan pernyataan-pernyatan figur publik menuai kontroversi. Ada juga isu yang berkembang bahwa beberapa kalangan menertawakan kebijakan KAJ, dengan anggapan konyol 'Tuhan juga takut corona'. Seharusnya kesakralan gereja mampu meluluhlantakkan penyakit duniawi. Ini adalah anggapan nihil rasio, tanda kebangkrutan berpikir.
Ketika 'Tuhan' menyerukan pencegahan virus corona, kita asyik berdebat soal masalah politik, menyoal pemindahan ibu kota, dan sebagainya. Kita lupa bersyukur bahwa Tuhan sesungguhnya masih mengingatkan kita saat lelap dalam alunan gamelan politik. Akibatnya, ketika pesona corona menggila, kita lantas kalang kabut dan pemerintah gegabah menangani persoalan pandemi ini.
Meskipun terkesan lambat, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo sudah mengeluarkan kebijakan nasional terkait pencegahan penyebaran virus mematikan ini. Lock down dan upaya lain seharusnya sudah dilakukan jauh hari sebelum beberapa orang direnggut oleh virus covid-19.
Indonesia memang memiliki jumlah korban paparan virus corona yang dapat dibilang sedikit dibandingkan dengan Prancis, Korea atau Italia yang memiliki rekor kematian tertinggi di luar Cina. Namun dengan begitu, tidak berarti kita menanti hingga korban berjatuhan baru kita sibuk mengeluarkan kebijakan. Contoh pembiaran oleh pemerintah pusat terhadap penyebaran virus ini tak boleh ditiru oleh pemerintah daerah. Kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Pempus seharusnya mulai ditindaklanjuti di daerah sesuai dengan kondisinya. Jangan pernah main-main dengan urusan nyawa, karena itu bertindak cepat sebelum corona membawa maut.