Filsuf wanita keturunan Yahudi, Hannah Arendt dalam karyanya, The Life of Mind, menjelaskan tentang brutalitas, kejahatan, anarkis dan hal sejenisnya sebagai 'banalitas'. Menurutnya, orang melakukan kejahatan dan tindakan banal lainnya disebabkan emptiness of thought (kekosongan daya pikir). Demikian muasal sebuah kejahatan menurut Arendt yang bukan dari the unconscious melainkan karena stok akal sehat yang sudah menipis.
Atas dasar argumentasi itu, maka pertanyaan yang bakal muncul adalah pantaskah kemudian mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi anarkis masih dijadikan sebagai otaknya rakyat? Saya meragukannya karena kualitas otak yang rendah tak akan berfungsi maksimal dalam menyampaikan pesan tulus rakyat yang dititipkan kepada mereka.
Aspirasi akan mengalami distorsi karena cara penyampaian aspirasi tidak menggunakan akal sehat melainkan kekuatan fisik yang menimbulkan kekacauan publik. Terhadap hal ini, Hobbes menyebutnya sebagai leviathan, manusia yang memiliki insting predator.
Para pelaku anarkis di demonstrasi tersebut mendegradasi status kemanusiaan mereka. Aspirasi masyarakat yang dititipkan kepada mereka direduksi menjadi perlawanan fisik dan destruksi total. Reduksi tersebut bisa digerakkan oleh ideologi politik yang salah atau ideologi radikal agama (Tan, 2018:36).
Pada konteks tersebut, mahasiswa mencorengi wajah sendiri di hadapan publik. Akal sehat macet dan tak berfungsi karena memang stok pengetahuan sudah mulai terbatas dan yang tersedia hanya ruang kosong yang mudah diinjeksi dengan ideologi radikalis dan ditumpangi kepentingan tokoh-tokoh di labirin gelap.
Lalu, apakah mahasiswa terus bertahan dalam emptiness of thought ? Kita semua adalah pelaku peradaban. Bila menuntut mahasiswa lebih giat menambah kompetensi maka kampus dan lembaga pendidikan yang memproduksi pengetahuan dan moralitas juga harus berbenah. Bukan hanya itu, pemerintah Indonesia pun perlu tegas membersihkan lembaga pendidikan dari ideologi-ideologi radikal yang belum tersingkap.
Absennya Moral dan Kematian TuhanÂ
Kematian Tuhan sesungguhnya bukan ide baru. Friedrich Wilhelm Nietzsche menjadi booming ketika keberaniannya menentang keputusan-keputusan gereja kristen pada zamannya. Salah satu quote-nya yang paling terkenal adalah 'Tuhan telah mati' yang diulas dalam the gay science. Di sana ia menarasikan seorang gila yang berteriak tentang kematian Tuhan.
Dalam karyanya itu Nietzsche tidak membentuk opini peniadaan Tuhan, melainkan memperkenalkan penemuannya tentang Tuhan yang telah mati dalam jiwa-jiwa orang di zamannya. Dengan kata lain manusia yang membunuh Tuhannya sendiri.
Kematian Tuhan yang diproklamirkan oleh Nietzsche tersebut dapat ditarik dalam konteks demonstrasi anarkis. Bahwasannya para demonstran yang melakukan aksi anarkis tidak melakukan pertimbangan moral. Pertimbangan moral sama dengan dialog hati yang menghadirkan bisikan Tuhan. Tanpa intervensi Tuhan, pertimbangan moral dieksploitasi oleh kepentingan-kepentingan politis karena ruang publik memungkinkan multi kooptasi.
Brutalitas demonstrasi mengindikasikan bahwa demokrasi kita sudah kebablasan. Terhadap hal ini Claude Lefort mengelaborasi genealogi demokrasi moderen sebagai produk dari tragedi 'kematian Tuhan' (Tan 2018:34).