Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dirgahayu ke-74 RI, Kita Belum Merdeka untuk Berpikir

17 Agustus 2019   16:53 Diperbarui: 19 Agustus 2019   07:10 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita memang belum merdeka dalam berpikir. Penjajahan berpikir terjadi ketika daya kritis kita melemah dan menerima begitu saja komando dan instruksi tanpa mengunyah dengan akal sehat. Penjajahan berpikir juga dapat terbaca ketika orang malas berpikir dan menyerah begitu saja pada nasib dan otoritas.

Akibatnya, konsensus yang dihasilkan tak lagi rasional karena dihasilkan melalui uang atau kekerasan dan hanya memenuhi tuntutan-tuntutan parsial dari pihak yang berkuasa. Ini adalah sebuah anomali, penjajahan berpikir di bangsa yang berstatus politik "Merdeka". Sungguh sebuah kemerdekaan yang palsu.

Pikiran yang tak merdeka membawa konsekuensi hingga pada sistem politik kita. Penjajahan berpikir menyebabkan kita takhluk begitu saja pada para pemilik modal dan kapitalis. Mungkin sudah 74 tahun lamanya, nasib bangsa ini seolah-olah ditentukan oleh negara-negara kapitalis dan perekonomian dunia, meskipun sebenarnya kita bisa mandiri. Swasembada pangan dan swasembada lainnya seolah-olah slogan ilusif tak bermakna.

Kemerdekaan berpikir yang terpasung juga mematikan kreativitas dan inovasi. Derap globalisasi yang begitu cepat tak bisa dihadapi tanpa kreativitas dan kemandirian. Lumpuhnya kreativitas dan otonomi berpikir juga menyebabkan bentangan jurang disparitas antara kaum miskin dan kaya semakin melebar.

Oleh karena itu kemerdekaan berpikir adalah sebuah tuntutan yang harus diwujudkan. Cara dan sistem berpikir harus segera diubah agar tidak mudah terpengaruh oleh dominasi eksternal.

Banyak literatur yang menyediakan tulisan berkualitas mengenai cara berpikir yang memerdekakan. Untuk itu maka peran kaum intelektual harus didorong untuk menciptakan banyak literatur tentang sistem berpikir atau cara menuju berpikir yang otonom seperti kebanyakan filsuf moderen dan abad pertengahan. Dengan demikian, di bangsa ini akan hilang kesan anti-intelektualisme yang pernah menjadi ciri khas fasisme Jerman dan Italia.

Menjadi Pemikir yang Otokhton

Jika memang kita belum merdeka dalam berpikir, lantas siapakah yang bertanggung jawab? Pemerintah? Swasta? Atau kita? Hemat saya, cederanya proses berpikir bisa disembuhkan oleh diri sendiri. Kemerdekaan berpikir tak harus melibatkan pemerintah dan dunia pasar.

Imanuel Kant dalam filsafatnya, menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pangkal dan pokok yang di dalamnya terkandung beberapa hal yakni: apa dapat kita kerjakan (metafisika), apa yang seharusnya kita kerjakan (etika), sampai di manakah harapan kita (agama), apakah yang dinamakan manusia (antropologi).

Berkaitan dengan proses berpikir, Kant meyakini bahwa kondisi tertentu dalam pikiran manusia dapat menentukan konsepsi. Fenomena yang kita tangkap melalui intuisi mendahului pengalaman. Pengetahuan muncul dari dua sumber yaitu sensibility dan understanding. 

Sensibility adalah kemampuan penerimaan kesan-kesan indrawi, sedangkan understanding adalah kemapuan membuat keputusan tentang kesan-kesan indrawi yang diperoleh melalui kemampuan pertama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun