Sabtu siang, matahari berdiri malas di atas kepala, ketika aku dan beberapa teman memulai perjalanan menuju Alahan Panjang sebuah kota kecil di Kabupaten Solok yang dikenal dengan sebutan “Negeri Dingin Tanpa Salju.” Jam menunjukkan pukul 12.30 ketika motor kami mulai melaju, meninggalkan riuhnya Kota Padang dan memasuki jalur panjang menuju ketenangan. Tujuan kami adalah Pulau Indah, sebuah tempat wisata yang sudah lama menjadi buah bibir para pencari sejuk dan damai.
Perjalanan belum lama dimulai, tapi tubuhku sudah bersiap menyambut tantangan yang bernama Sitinjau Lauik. Jalan legendaris ini bukan hanya terkenal karena pemandangannya yang dramatis, tetapi juga karena belokan-belokannya yang curam dan menggoda adrenalin. Udara mulai berubah, dari gerah kota menjadi hembusan yang lebih segar dan tajam, menusuk ke kulit perlahan. Di tikungan-tikungan tajam, kami saling melempar pandang waspada sekaligus terpesona.
Di sisi jalan, kawanan beruk muncul tiba-tiba, seperti penonton liar yang ingin menyapa setiap kendaraan yang lewat. Mereka duduk, berdiri, melompat memperhatikan kami dengan tatapan penuh harap, menanti lemparan makanan dari tangan-tangan manusia yang lewat. Sesekali terdengar suara mereka yang serak, melengking samar di balik deru mesin.
Dari Sitinjau, kami terus melaju hingga tiba di Lubuak Lasiah, lalu berbelok ke kanan, menembus kabut tipis yang mulai menggantung rendah di udara. Semakin dekat ke Alahan Panjang, udara makin menggigit. Dingin itu seperti menyusup pelan dari celah-celah pakaian, merayap ke tulang, memaksa kami merapatkan jaket dan memeluk tubuh sendiri. Aku bersyukur telah membawa jaket tebal teman terbaik dalam cuaca seperti ini.
Namun rasa dingin itu seolah terlupakan begitu mata kami disuguhi pemandangan yang membuat waktu terasa melambat. Di kiri dan kanan jalan, terbentang kebun-kebun sayuran yang tertata rapi barisan hijau yang seolah dilukis tangan Tuhan sendiri. Kubis, wortel, kentang, dan sayuran lainnya tumbuh dalam harmoni, sejuk dipandang dan menenangkan hati.
Tak jauh dari sana, hamparan kebun teh menjelma menjadi permadani hijau yang tak berujung. Kabut tipis melayang-layang di atasnya, seperti tirai lembut yang menambah kesan magis pada lanskap yang sudah indah. Aroma tanah basah dan daun teh muda terbawa angin, samar tapi menenangkan. Kami diam sejenak, membiarkan mata dan hati larut dalam pemandangan itu. Rasanya seperti berada di negeri dongeng, tempat di mana segala penat dunia mendadak hilang.
Kurang dari dua jam sejak kami meninggalkan riuhnya kota, akhirnya kami tiba di tujuan tempat yang selama ini hanya kami dengar dari cerita orang-orang, dan kini benar-benar kami tapaki yakni Pulau Indah. Sebuah nama yang terasa sederhana, tapi begitu pas menggambarkan tempat ini. Ia tak sekadar indah ia memesona, memeluk siapa pun yang datang dengan keheningan dan kesejukan yang menenangkan.
Tepat di hadapan kami, hamparan danau biru membentang luas, tenang, seperti cermin raksasa yang memantulkan langit. Inilah Danau Ateh permata alami yang menjadikan Pulau Indah sebagai “Switzerland-nya Indonesia”. Airnya berwarna biru kehijauan, tenang tapi hidup, dihiasi riak-riak kecil yang seolah menyapa kami. Di sekeliling danau, barisan pohon pinus menjulang, berdiri gagah seperti penjaga hutan, sekaligus memberikan nuansa dramatis yang tak ditemukan oleh tempat lain.
Di kejauhan, beberapa sampan kecil tampak mengambang tenang, dikayuh perlahan oleh warga lokal yang sedang menangkap ikan. Dari tempat kami berdiri, suara dayung yang menyentuh air terdengar samar, menyatu dengan desir angin dan suara dedaunan yang saling bersentuhan. Aroma air dan pantulan sinar matahari yang sedikit menambah kehangatan saat angin sejuk merogoti kulit. Mata kami tak bisa berhenti menatap, seolah takut kehilangan satupun detail keindahan ini.
Kami pun segera mencari tempat bernaung, memilih teduh di bawah pohon besar di tepian danau. Di situ, kami membentuk lingkaran kecil dan mulai menyantap bekal yang telah kami bawa dari Padang. Nasi hangat, lauk sederhana, tapi terasa seperti hidangan mewah ketika disantap sambil memandangi danau yang membiru dan merasakan semilir angin yang menari pelan. Suasana begitu damai. Setiap gigitan terasa lebih nikmat, karena bukan hanya perut yang kenyang jiwa kami pun terasa terisi.