Dengan cara itu, agama tidak kemudian dipandang sebagai perihal yang didudukkan pada demarkasi yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Konsep akhlak yang dibawa agama mesti ditafsirkan secara lebih rigid guna menemukan pijakan yang kuat di dalam upaya mitigasi kebencanaan yang mengancam kehidupan masyarakat.
Begitu pula konsep-konsep pengetahuan bawaan masa lalu. Leluhur bangsa ini sebenarnya juga telah memiliki berbagai konsep mengenai mitigasi. Hanya, perubahan zaman telah menggeser pengetahuan-pengetahuan itu sekadar menjadi aksesoris budaya. Mitos dipandang sebagai sesuatu yang tabu oleh gagasan modernitas tanpa terlebih dahulu melakukan penggalian yang mendalam atas makna-makna simbolik dari mitos.
Novela Kisah Ganjil Pelaut dan Keturunannya mencoba mewacanakan perihal-perihal tersebut. Bahkan, secara tidak langsung, novela ini menggiring kesadaran pembaca untuk memahami betapa sesungguhnya manusia masa kini tengah kehilangan arah hidup. Sebab, kelupaan mereka atas segala pengetahuan, baik lewat pengetahuan leluhur maupun agama, terlampau jauh. Hal ini yang lantas mesti dibayar sangat mahal dengan menyerahkan masalah ekologis ini pada penguasaan teknologi yang juga masih jauh tertinggal di belakang.
Secara implisit, fenomena yang diusung novela tersebut juga memunculkan kritik kebijakan atas semua aspek kehidupan. Wabilkhusus, dunia pendidikan. Novela ini mewacanakan tentang betapa alam pendidikan kita saat ini masih terasa seperti orang yang berjalan tanpa menapakkan kakinya di atas permukaan tanah. Hanya melayang-layang bagai hantu.
Pembacaan novela Kisah Ganjil Pelaut dan Keturunannya boleh dibilang sangat jeli. Sehingga, apa yang kemudian disebut "ramalan" itu menjadi seolah-olah benar adanya. Sebab, yang diungkap novela ini sebenarnya adalah pola. Bahwa, dari waktu ke waktu ada pola yang terus berulang atas masalah yang terjadi di Simonet. Yaitu, adanya tata kelola yang agaknya kurang mampu membaca secara mendalam atas pola kejadian yang dialami Simonet. Penanganan yang dijalankan masih sebatas upaya-upaya yang parsial. Sebagaimana dikemukakan dalam novela tersebut, hanya akan membuang-buang energi tanpa menghasilkan solusi yang menjangkau masa depan.
Itu pula sebabnya, dalam perhelatan itu saya kemukakan, penting bagi para pengambil kebijakan untuk membaca karya sastra. Begitu pula kepada siapa pun. Tidak terkecuali, para pendidik dan pembelajar. Membaca karya sastra bukan sekadar pemenuhan hasrat pribadi untuk mendapatkan hiburan, melainkan pula untuk mendapatkan pengetahuan mengenai fenomena zaman. Membaca karya sastra, dengan kata lain, adalah kebutuhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI