Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Batik Pesisir Pekalongan dan Filosofi Wani Ngalah

28 September 2021   23:40 Diperbarui: 30 September 2021   02:45 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Sapuan sedang membatik (sumber foto: dok. pribadi Pak Sapuan)

Penduduk negeri batik tampaknya memang suka dengan keisengan. Segala yang ingin dilakukannya tidak lain berawal dari ide-ide nyeleneh dan penuh keisengan. Bukan sesuatu yang serius, bukan pula sesuatu yang menguras pikiran. Tetapi, ketika ide itu direalisasikan, mereka melakukannya dengan sangat serius dan amat detil. Tidak main-main.

Begitulah mereka di dalam menjalani hidup. Batik yang menjadi bagian dari denyut kehidupan mereka pun tak cukup bagi mereka hanya dibentangkan pada selembar kain sepanjang 2 meter. Lalu, mereka pun berkehendak membatik apa saja. 

Dunia ingin mereka batik. Lalu, muncul pencatatan rekor dunia Guiness. Sepanjang 1.200 meter kain dibentangkan, menjulur sampai melintas di jalanan. Kemudian dibatik oleh ribuan orang pula. 

Tidak hanya itu, semesta pun ingin mereka batik. Lalu, muncul angka 1,67 miliyar rupiah---yang pada tahun 70-an angka itu merupakan angka yang fantastis---guna membangun Planetarium.

Tak heran jika UNESCO akhirnya menjadi takluk atas kegigihan rakyat negeri batik. Mereka akhirnya mengakui keunggulan rakyat negeri batik sebagai pemilik sah batik, setelah diuji dengan berbagai macam kriteria yang mereka buat.

Ibarat sebuah sayembara pencak silat, rakyat negeri batik ini adalah pendekar pilih tanding. Bagaimana tidak, lawan mereka bukanlah pendekar biasa. Lawan mereka adalah pendekar besar yang memang memiliki kekuatan yang tidak sebanding dengan pendekar negeri batik. 

Sebab, yang mereka lawan itu adalah kekuatan yang bernama negara. Bahkan tidak hanya satu, tetapi ada beberapa. Malaysia, Tiongkok, India, dan beberapa negara lain yang juga ikut rebutan mengaku sebagai pemilik batik itulah lawan pendekar yang satu ini. 

Sudah pasti mereka memiliki kekuatan yang lebih besar karena mereka memiliki bala tentara, diplomat-diplomat ulung, modal finansial yang menggunung, juga kekuatan-kekuatan lainnya. 

Sementara pendekar sakti yang satu ini hanya sebuah kota kecil, yang luasnya pun hanya 45 kilometer persegi dan dihuni oleh penduduk yang mayoritas bekerja sebagai buruh. 

Bahkan, ada juga sebagian yang terpaksa memburuh di mancanegara, seperti Malaysia, Arab Saudi, Hongkong, dan negara-negara lainnya. 

Jelas, pendekar negeri batik ini berhadapan dengan lawan yang sangat tak sepadan. Maka, kalaupun kalah, sudah pasti wajar. 

Kalaupun menang, itu semata-mata hadiah atas kegigihan pendekar ini di dalam mengolah kanuragan, mengolah batin, mengolah jiwa, dan mengolah rasa. Bukan karena ia sakti, sebab kesaktian bukanlah yang esensial.

Mengapa begitu? Karena sesungguhnya kesaktian itu tidak ada. Kesaktian hanyalah bagian kecil dari sebuah proses panjang, bukan capaian, bukan hasil akhir. Tetapi, kesaktian kerap kali disalahtafsirkan sebagai sesuatu yang paripurna, sesuatu yang sejati, yang telah tuntas. Padahal, kesaktian itu berada di wilayah anggapan.

Seseorang digelari, disandangi, dijuluki, disebut, dianggap, dikatakan sakti karena dipandang memiliki kemampuan yang berbeda dengan lainnya, kemampuan di atas rata-rata. Padahal, bisa saja di waktu yang lain, ia tidak dapat memanfaatkan kemampuannya yang di atas rata-rata itu. 

Atau pula, pada saat tertentu ia menghadapi orang yang memiliki kemampuan yang berbeda dan ia tidak mampu menandinginya karena ia keliru menerapkan strategi. Maka, ia pun bisa jatuh dan kalah di saat-saat tertentu. 

Lalu, ketika ia kalah masihkah berlaku hukum kesaktian itu pada orang itu? Sudah tentu, kekalahan akan menciderai citranya sebagai seorang pendekar. Memperburuk reputasinya. Saat itu pula, gelar sakti dicopot. Gelar sakti tidak lagi disandangkan padanya.

Dari sini tampak bahwa kesaktian hanya soal cara orang memandang orang lain yang dianggap memiliki kemampuan di atas orang kebanyakan. 

Artinya, kesaktian hanya atribut bukan sesuatu yang sudah menetap. Karenanya, pencapaian yang diraih rakyat negeri batik di dalam memenangi sayembara itu harus kita lihat sebagai dampak, sebagai hadiah atas kegigihannya, atas sikap wani ngalah-nya.

Lalu, apa itu wani ngalah? Secara harfiah, istilah wani ngalah diterjemahkan sikap berani mengalah atau berani mengakui dan menjadi yang kalah. Namun, bagi saya, penerjemahan yang demikian tampaknya masih perlu dikaji lebih dalam. 

Sebab, ada keterbatasan yang teramat sempit pada bahasa Indonesia di dalam menangkap makna idiom-idiom bahasa Jawa. Alhasil, spektrum makna menjadi sempit dan kurang mendalam.

Sekarang, mari saya ajak sampeyan untuk menyelami idiom yang sederhana ini. Ya, wani ngalah.

Wani bermakna sikap berani, atau gagah, perkasa. Artinya, di dalam sikap berani itu ada kegagahan dan keperkasaan. Gagah karena sikap berani menunjukkan perilaku yang bernas, tidak menjadi setengah-setengah, tidak ragu-ragu, tidak ingah-ingih. Tetapi, memunculkan sikap yang mantap. 

Oleh sebab itu, di dalam keberanian pula terdapat keperkasaan yang menunjukkan sikap teguh, kukuh, kuat, dan yakin.

Jika demikian, modal menjadi wani itu adalah keteguhan pada apa yang menjadi keyakinannya, yaitu kebenaran. 

Sedang kebenaran itu sendiri adalah perihal yang mesti ditemukan dan diuji terus-menerus. Diproses terus, tanpa henti. Sementara untuk dapat menemukan dan mengujinya kita butuh perangkat yang namanya kesadaran. 

Kesadaran ibarat laboratorium yang terus bekerja tanpa henti. Ia bukan semata-mata keadaan yang telah paripurna, melainkan keadaan yang mesti dilangsungkan secara berkesinambungan dan berkelanjutan, kontinuitas. Ia menjadi geliat yang terus-menerus ditumbuhkan oleh peristiwa-peristiwa yang berseliweran. 

Dari itu pula dapat kita pahami bahwa untuk menjadi sadar diperlukan pengetahuan-pengetahuan sebagai alat bantu, bukan yang menentukan takaran benar salah. Sebaliknya, di dalamnya terdapat tanggung jawab atas penggunaan pengetahuan itu sebagai alat.

Betapa kompleks makna kata yang sederhana dan terkesan mudah diucapkan ini. Wani tidak sekadar menjadi berani. Akan tetapi mencakupi dimensi keyakinan, kebenaran, kesadaran, pengetahuan, dan juga tanggung jawab. 

Dimensi-dimensi ini mesti terus ditempa setiap saat. Diuji berkali-kali sampai pada akhirnya menjadi tindakan nyata, sehingga wani tidak menjadi sebuah tindakan yang asal, tanpa dasar pondasi yang kuat dan mantap.

Di pihak lain, kata wani juga kerap dikonotasikan sebagai sikap melawan, tidak taat, atau pembangkangan. Saya kira, pengkonotasian ini terlalu buru-buru, sebab di dalam wani ada hal-hal yang amat prinsipil. Orang menjadi wani karena ia memiliki bekal yang cukup dan mendasar. Syarat untuk menjadi wani itu adalah ia benar-benar harus sanggup mengalahkan dirinya sendiri, melawan dirinya sendiri. Sebab, wani tidak untuk gagah-gagahan. Tetapi, sebaliknya ia harus siap menjadi hancur sehancur-hancurnya. Menjadi tidak ada, menjadi tidak hadir.

Ya! Di dalam wani harus ada sikap ngalah, yaitu sikap mau, sanggup, dan bersedia untuk menerima, menjadi yang dikalahkan. Sekalipun kekalahan itu bukan karena benar-benar kalah. 

Karenanya, kalah di dalam ngalah itu bukan suatu keadaan jadi, melainkan suatu wujud sikap yang sekaligus mencerminkan sifat mulia. 

Kalah di dalam ngalah bukan kalah melawan pihak lain, melainkan sebagai tindakan yang memilih untuk mengalahkan diri sendiri. Mengalahkan keinginan, hasrat, nafsu, ego, dan segala yang bisa membuat diri lengah.

Ngalah juga bisa bermakna kepasrahan yang esensial. Kepasrahan yang sangat indah di hadapan Yang Maha Indah. Sebagaimana diterjemahkan oleh para wali, kata ngalah didudukkan sebagai idiom yang terdiri atas dua kata 'nga' dan 'Allah'. 

'Nga' bermakna menuju pada. Maka kata ngalah bermakna menuju pada Allah alias berserah diri. Di dalamnya tersirat pula kesungguhan. Di dalam kesungguhan itu sendiri ada kesanggupan untuk menjadi tidak ada dan tidak diperhitungkan.

Jika demikian, wani ngalah bisa saja diartikan sebagai sikap sadar atas pilihannya untuk menyanggupi diri menjadi tidak dianggap ada atau bahkan dianomalikan. Lebih dari itu, ia akan menjadi dialienasikan dari sosial.

Demikian pula yang dilakukan rakyat negeri batik. Ketika muncul cetusan slogan membatik dunia, sontak itu menjadi gunjingan, karena dianggap mustahil dilakukan. Ada pula yang beranggapan itu terlalu mengada-ada, atau pula dianggap sebagai umuk (omong besar). 

Pada saat itu, bukan tidak mungkin cibiran akan bermunculan. Tetapi, di saat bersamaan, rakyat negeri batik sebenarnya---tanpa sadar---tengah menghancurkan dirinya sehancur-hancurnya. Rela dianggap aneh, diremehkan, dianomalikan, dicibir, sampai-sampai dianggap tidak ada.

Kendati demikian, tidak ada yang menyangka jika umuk-nya rakyat negeri batik dapat direalisasikan. Itu semua karena wani ngalah-nya. 

Ya, spirit of umuk-nya rakyat negeri batik bukan spirit omong besar, melainkan spirit of wani ngalah. Tujuannya, tidak lain adalah membangun apa yang mereka sebut sebagai rahat. Kesukacitaan, kegembiraan yang bisa dirasakan bersama-sama tanpa memandang kelas, status sosial, maupun lain-lainnya.

Di sinilah, rahat kemudian menampakkan diri sebagai energi positif. Ia menjadi pusat gravitasi yang memancarkan energi positif kepada siapa saja. 

Ia menjadi panggilan bagi siapa saja yang ada di dalam lingkaran negeri batik. Dan ketika lingkaran ini digerakkan, seperti sebuah kumparan pada trafo, ia mampu memercikkan bunga api yang jika diproduksi secara kontinu dan intens akan menghasilkan nyala cahaya. Teranglah dunia. Teranglah wajah-wajah muram itu menjadi sumringah.

Rakyat negeri batik adalah rakyat yang rahat. Rakyat yang tak mengenal istilah menyerah. Rakyat yang sesungguhnya sangat bermartabat. Dunia mereka batik, bahkan semesta sekalipun.

Baca juga:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun