Akses terhadap layanan kesehatan adalah hak dasar yang seharusnya dapat dinikmati oleh setiap individu tanpa kecuali. Hak ini bukan hanya soal moral dan kemanusiaan, tetapi juga dijamin secara konstitusional dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Selanjutnya, Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur secara lebih rinci bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib menyediakan akses pelayanan kesehatan primer dan lanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa akses tersebut masih sangat terbatas dan tidak merata. Banyak masyarakat di Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat miskin, dan kelompok marjinal, menghadapi kesulitan besar untuk mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Kondisi ini bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan fasilitas dan tenaga medis, tetapi juga dipengaruhi oleh struktur sosial dan ekonomi yang menciptakan ketimpangan dalam memperoleh layanan kesehatan. Akibatnya, kelompok yang berada pada posisi sosial dan ekonomi paling rendah menjadi korban utama yang paling dirugikan dalam ketidakadilan akses kesehatan ini.
Keterbatasan akses layanan kesehatan bukan hanya disebabkan oleh sulitnya menjangkau fasilitas atau mahalnya biaya pengobatan, tetapi juga merupakan bentuk ketidakadilan sosial yang sistemik. Teori konflik Karl Marx dapat membantu kita memahami siapa yang menjadi korban ketimpangan akses kesehatan dan bagaimana sistem sosial memperkuat ketidakadilan tersebut. Menurut teori ini, masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas sosial dengan kepentingan bertentangan, di mana kelas penguasa (borjuis) mengendalikan alat produksi dan modal, serta mengatur distribusi sumber daya, termasuk layanan kesehatan. Sebaliknya, kelas pekerja (proletariat) atau kelompok ekonomi rendah mengalami keterbatasan dalam mengakses sumber daya tersebut.
Layanan kesehatan bukan sekadar kebutuhan dasar, melainkan juga menjadi komoditas yang dikendalikan oleh kekuatan ekonomi dan politik. Oleh karena itu, akses terhadap layanan kesehatan dalam sistem kapitalis sangat tidak adil dan dipengaruhi oleh siapa yang memiliki kekuasaan dan sumber daya. Di Indonesia, ketimpangan dalam layanan kesehatan sangat terlihat dari perbedaan akses antara kelompok sosial ekonomi yang mampu dan yang kurang mampu. Pengguna layanan dari kelompok kelas atas biasanya memperoleh pelayanan yang cepat dan berkualitas, termasuk akses ke dokter spesialis, rumah sakit swasta, dan teknologi medis canggih. Sebaliknya, masyarakat miskin dan yang tinggal di daerah terpencil sering kali hanya mendapatkan layanan terbatas dengan fasilitas yang kurang memadai serta harus menunggu lama untuk prosedur medis.Â
Meskipun ada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), kenyataannya kelas sosial masih menjadi faktor utama yang menentukan kualitas pelayanan kesehatan. Proses administrasi yang rumit, keterlambatan layanan, dan diskriminasi terhadap pasien BPJS masih sering terjadi, sehingga kelompok kaya tetap lebih mudah dan nyaman mendapatkan akses. Menurut (Widianto, A. A., 2013) dalam penelitiannya, tingkat keuangan pasien sangat memengaruhi akses layanan kesehatan, masyarakat kaya dapat memilih jenis perawatan, fasilitas, dan obat sesuai keinginan, sedangkan masyarakat berstatus sosial ekonomi rendah kesulitan mendapatkan layanan maksimal. Hal ini menyebabkan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, di mana kemampuan finansial menjadi tolak ukur utama atau dikenal sebagai "the law of medical money."
Contoh nyata dari fenomena ketimpangan ini adalah kejadian di salah satu Rumah Sakit Umum Daerah Mr. Mohammad Soewandhie, Surabaya, pada bulan Juni 2023 yang menjadi sorotan publik. Di mana seorang pasien BPJS Kelas 3 harus menunggu selama tiga hari untuk mendapatkan kamar di ruang ICU karena keterbatasan fasilitas dan sumber daya rumah sakit. Penundaan tersebut berakhir tragis, dengan meninggalnya pasien karena keterlambatan perawatan (Prasetyo, N. A., 2023). Kasus ini menunjukkan dengan jelas bagaimana ketidakadilan dan ketidakseimbangan akses layanan kesehatan, yang seharusnya menjadi hak setiap warga, sangat dipengaruhi oleh status sosial dan ekonomi pasien dalam sistem kelas sosial yang timpang.
Selain itu, teori konflik juga mengkritik bagaimana sistem kesehatan swasta yang mencari keuntungan justru memperbesar ketimpangan. Rumah sakit swasta dan perusahaan farmasi lebih banyak melayani kelompok kelas menengah dan atas yang mampu membayar biaya tinggi, sementara masyarakat miskin sering kesulitan membiayai layanan kesehatan sehingga terpinggirkan. Dalam situasi ini, kesehatan berubah menjadi barang dagangan yang menguntungkan, bukan sebagai hak dasar yang harus dapat diakses secara adil oleh seluruh orang.
Dari pandangan Karl Marx, negara tidak bersikap netral terhadap masalah ini, negara dan lembaga-lembaga termasuk sistem kesehatan nasional sering kali menjadi alat kelas penguasa untuk mempertahankan ketidaksetaraan. Kebijakan yang dibuat biasanya menguntungkan elit dan pemilik modal, sedangkan kelompok masyarakat lemah seperti warga miskin dan marjinal jarang menjadi prioritas.
Solusi untuk mengatasi masalah ini harus bersifat menyeluruh dan mendasar. Pemerintah harus berkomitmen kuat untuk mewujudkan keadilan sosial dengan menerapkan kebijakan kesehatan yang inklusif dan adil. Ini termasuk membangun fasilitas kesehatan yang memadai dan menyediakan tenaga medis di daerah-daerah terpencil. Selain itu, kualitas layanan kesehatan harus ditingkatkan untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) perlu ditegakkan agar benar-benar menjangkau mereka yang paling membutuhkan tanpa diskriminasi.Â
Distribusi tenaga kesehatan juga perlu ditingkatkan dengan memberi insentif agar tenaga medis mau bertugas di daerah terpencil serta membangun infrastruktur kesehatan yang memadai. Selain itu, teknologi seperti telemedicine dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat daerah terpencil mendapatkan layanan kesehatan dengan biaya lebih terjangkau. Selain itu, pemberdayaan masyarakat melalui edukasi kesehatan sangatlah penting. Edukasi dapat meningkatkan pemahaman akan hak dan pentingnya kesehatan, sekaligus memperkuat kelompok rentan dalam memperjuangkan posisi haknya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI