Mohon tunggu...
Ria Rindika Oktaviana
Ria Rindika Oktaviana Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Jurnalis Kampus Nowadays: Perselisihan Pasal Wakil Mahasiswa Jadi Penyambung Lidah Masyarakat Patung Kuda

30 November 2020   09:27 Diperbarui: 30 November 2020   09:48 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Sebagai mahasiswa, lika-liku dunia kampus tak hanya tentang belajar saja. Di era yang serba maju, tak sedikit yang tertarik untuk terjun ke dunia jurnalistik. Pascalis Muritegar Embu Worho, satu di antara mahasiswa tersebut. "Panggil saja Mas Embu", katanya ketika diwawancarai. Lelaki yang dikenal sebagai ketua LPM Psikojur ini telah mengalami warna warni dunia jurnalistik. Mulai dari meliput aksi massa, mengatasi kegugupan saat mewawancarai narasumber yang kompeten, hingga mendapat masalah dalam melaksanakan tugasnya sebagai social control. Dalam wawancara ini kami dari kelompok Tirto Adhi Soerdjo berkesempatan untuk meminta pendapat Mas Embu mengenai kegiatan jurnalisme di kampus.

Menurut Embu, pada dasarnya jurnalisme adalah kegiatan mencari, mengolah, dan menyebarluaskan sebuah tulisan yang dikemas dalam bentuk berita, infografis, maupun videografis. Embu menyebutkan bahwa sesuai dengan UU Pers, jurnalisme memiliki empat fungsi, yaitu Fungsi informasi artinya menyajikan fenomena yang aktual dan faktual, Fungsi informasi edukasi artinya mengedukasi publik dengan narasi, Fungsi rekreasi artinya menyediakan wadah/sarana hiburan bagi masyarakat (misalnya puisi, cerpen yang siap disebarluaskan), Fungsi tambahan, ialah sebagai kontrol sosial yang diartikan dengan penyambung lidah antara masyarakat dan pemerintah.

Mengambil keputusan untuk menjadi seorang jurnalis bukanlah hal yang mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi, beban yang disematkan di pundak. Seorang jurnalis dituntut untuk bertanggung jawab dalam menyajikan tulisannya, mengutamakan kebenaran data, kritis, dan lain sebagainya.

Tak jauh berbeda dengan masa sebelum merdeka, pada zaman milenial ini, lembaga pers masih menjadi 'harapan' masyarakat dalam menyampaikan aspirasi yang belum dapat tersampaikan. Begitu pula lembaga pers (jurnalis) kampus yang sampai sekarang masih dipercaya untuk menjadi penyambung lidah mahasiswa dalam gerakan sosial dan demokrasi. Akan tetapi, hal ini tidak selalu berjalan mulus. Berbagai lika-liku telah dirasakan oleh Embu.

"Seorang jurnalis harus bertanggung jawab atas tulisannya serta wajib melakukan take down atau merevisi apabila terjadi kekeliruan yang dapat menimbulkan permasalahan," ujar Mas Embu dalam wawancara daring sore tadi (28/11). Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa menjadi jurnalis di kampus tentu tidak mudah karena berisiko untuk terjadi kesalahpahaman. Sebagai contoh, kesalahpahaman yang terjadi antara Badan Legislatif Fakultas Psikologi dan LPM Psikojur belakangan ini.

LPM Psikojur melancarkan kritik atas kebijakan Senat yang melakukan open recruitment terlebih dulu tanpa mengeluarkan Peraturan Senat Mahasiswa tentang Pemilihan Raya. Hal ini disanggah langsung oleh pihak Senat yang menyatakan sudah merilis peraturan Permira di situs web, kemudian meminta lembaga pers mahasiswa untuk mengoreksi pemberitaan dengan melakukan take down jika sudah disebar melalui akun media sosial. Sebagai jurnalis profesional, tentu kita harus bertanggung jawab apabila terdapat bukti konkret atas kesalahan yang sudah dilakukan.

Lebih dalam lagi, LPM sebagai kontrol sosial memiliki hak yang sudah dijamin oleh undang-undang. Namun, bagaimana jika hak tersebut dicabut secara paksa? Jawabannya sederhana, lembaga tetap ada, tetapi fungsinya tidak berjalan secara optimal, melainkan mati. Dengan demikian, sebagai jurnalis kita harus melawan dan merebut kembali hak tersebut dengan melakukan framming, pemanasan isu, menggiring opini, dan advokasi.

Embu menambahkan, dalam membuat berita, kita boleh menggunakan clickbait dengan syarat sesuai fakta dan mewakili dari isi pemberitaan. Mas Embu juga memberikan trik-trik dalam membuat judul berita, tetapi tetap memperhatikan kode etik jurnalistik tersebut. Berikut adalah trik membuat judul yang menarik pembaca yaitu Judulnya Bombastis agar menarik perhatian khalayak umum. 

Namun tidak menyimpang dari inti berita, tetapi tetap memperhatikan tentang kebombastisan judulnya dan Judul seharusnya dibuat Provokatif agar memancing emosi orang.

"Seorang jurnalis harus memperbanyak literasi agar memiliki landasan berpikir yang luas sehingga dapat bertanggung jawab atas apa yang diberitakan." kata Mas Embu lagi. Satu di antara kontruksi berpikir ialah menerapkan ATM pada studi kasusnya. ATM merupakan singkatan amati, tiru, dan modifikasi. Dengan mengambil permasalahan di atas, Senat Mahasiswa Universitas Diponegoro berhak mendapatkan hak jawab berupa klarifikasi dan hak koreksi seperti take down oleh pihak LPM yang sudah diatur dalam UU RI No. 40 tahun 1999.

Selain memperbanyak literasi, seorang jurnalis harus menambah pengalaman dengan menulis berita atau feature di platform blog yang beredar. Mas Embu memberikan dua contoh platform yang dapat digunakan untuk membagikan hasil tulisan kita. Pertama, ada media Kompasiana yang memberikan akses untuk membagikan tulisan, tetapi platform ini masih mengharuskan kita untuk melakukan penyuntingan atau editing.  Kedua, ada Mojokdotco platform yang lebih atraktif dan menyenangkan karena selain bisa membagikan tulisan, kita juga bisa mendapat hasil berupa uang untuk royalti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun