Pada hari Selasa (23/09/2025) Presiden Prabowo Subianto menghadiri Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 yang digelar di Newyork, Amerika Serikat. Dalam sidang kali ini, Prabowo menyampaikan pidatonya pada urutan ketiga setelah Presiden Brasil dan Presiden Amerika Serikat.
      Dalam pidatonya, Prabowo membahas terkait Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan manusia, swasembada beras, kontribusi PBB, ambisi Indonesia mencapai Net Zero Emission di tahun 2060 atau lebih cepat, menargetkan reforestasi di 12 juta hektar lahan kritis, membangun tanggul laut sepanjang 480 kilometer, dan kesiapan Indonesia mengirim 20.000 pasukan untuk menjaga perdamaian di berbagai penjuru dunia seperti Sudan, Libya, dan Palestina. Prabowo juga menyatakan menolak doktrin, "the strong do what they can, the weak suffer what they must" dan juga menyerukan dukungan atas solusi dua negara (two states solution) untuk Palestina dan Israel. Bahkan, Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan mengakui Israel jika Israel mengakui Palestina merdeka.
      Pidato Prabowo ini disambut riuh tepuk tangan, pujian dari berbagai kalangan dan kancah global, serta sambutan hangat setelah satu dekade Presiden Indonesia tidak hadir secara langsung ke markas PBB. Namun, di balik pujian, tentunya ada kritik terhadap pidato Presiden Prabowo tersebut. Dikutip dari Kompas TV (24/9) seharusnya Indonesia tidak hanya menyoroti solusi dua negara, tetapi juga berani mengecam keras para pemimpin Israel sebagai pihak yang menindas rakyat Palestina. Amnesty pun mengkritik bahwa Prabowo tidak lantang mengatakan tindakan Israel pada Palestina tersebut sebagai genosida, justru Prabowo menggunakan kata "catastrophe" untuk menjelaskan situasi di Palestina.
      Kritik pun tidak berhenti di sana, di balik pidato Prabowo yang menggebu-gebu ternyata ada realita yang belum sesuai. Amnesty pun menegaskan bahwa kredibilitas Indonesia di mata dunia tidak hanya terpaku pada kata-kata indah di pidato, tapi juga dari fakta dan aksi nyata. Nyatanya, pelanggaran HAM di Indonesia masih sering terjadi dan tak kunjung diusut hingga tuntas sejak dulu, kelompok minoritas belum mendapat perlakuan setara, diskriminasi terus terjadi, hak masyarakat adat atas tanah dirampas untuk program food estate, kebebasan berekspresi masih terbelenggu dan belum bebas, swasembada beras yang dipersoalkan karena lahan pertanian yang menyusut tapi harga pangan masih tinggi, dan eksploitasi hutan yang terus terjadi.
      Pidato Prabowo ini dianggap sebagai sebuah langkah diplomasi berani. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana Prabowo mewujudkan ucapan dan ambisinya tersebut. Jika ucapannya diterapkan dalam kebijakan nyata di Indonesia maupun global, tentu akan memperkuat posisi negara Indonesia di mata dunia. Namun, apabila hanya berhenti pada retorika, maka pidato tersebut bisa dipertanyakan oleh seluruh negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI