[caption caption="Cinta Segitiga (www.crosswalk.com)"][/caption]
Pernahkah Anda mengalami cinta segitiga? Dimana Anda disukai seseorang namun Anda lebih mencintai orang lain? Padahal orang yang Anda cintai tadi tidak (belum) merespon cinta Anda sementara orang sudah bilang ‘cinta’ kepada Anda tadi benar-benar telah membuktikan rasa sayangnya, lebih dari sekedar ucapan. Lalu, bagaimana menanggapi ini? Apakah Anda mau menebak-nebak siapa jodoh Anda kelak? Bingung untuk menguak rahasia Tuhan yang masih terkunci rapat? Atau justru Anda berpegang teguh pada prinsip bahwa apa yang Anda yakini sekarang adalah jalan Tuhan yang sesungguhnya?
Semboyan hidup yang sering kita dengar adalah Rezeki, Jodoh dan Kematian adalah kuasa Tuhan, manusia takkan bisa mengetahui itu. Kita pun takkan bisa melakukan komplain kepada Tuhan, “Tuhan, tolong ya jangan ambil nyawaku 5 tahun ini. Aku mau membeli rumah baru buat anak istriku..” atau “Tuhan, semoga dia jodohku kelak. Dia adalah yang paling sempurna, yang paling aku sukai. Engkau harus mengabulkannya.” Tentu tak bisa kita menawar seperti ini.
Tantangan besar yang harus kita hadapi adalah bagaimana mengusahakan kehidupan kita agar baik di hadapan Tuhan, dimana kita bisa bahagia secara sederhana, mencari rezeki halal, mencari jodoh yang baik, bisa bermanfaat bagi orang lain dan selalu berpikir bahwa ‘sebentar lagi aku dipanggil Tuhan’ jadi aku harus mempersiapkan sejak dini untuk bisa layak saat kelak Tuhan memanggilku kembali. Ini bukan untuk menakut-nakuti diri sendiri, ini hanyalah secuil pemaksaan ‘introspeksi’ diri sebagai manusia agar kita dapat mengendalikan diri dari rasa tinggi hati, sombong, merasa diri paling benar, egois atau perasaan negatif lainnya karena setinggi-tingginya derajat kita di kehidupan sosial tetaplah masih sangat kecil di mata Tuhan.
Nah, tentu ini ada hubungannya dengan mencari jodoh. Sekali lagi, jodoh memang di tangan Tuhan tapi kita pun harus peka terhadap sinyal-sinyal yang diberikan Tuhan tentang jodoh kita kelak. Siklus ini seringkali dimulai dari melihat, bertatap muka, menyapa, berteman hingga akhirnya menikah dan dari setiap tahapan ini menyimpan banyak peristiwa yang harus kita lewati satu per satu.
Saya menulis ini karena terinspirasi oleh seorang teman wanita yang kini sedang menyelesaikan tesisnya di salah satu Universitas swasta di Jogja. Wanita anggun ini kebetulan ambil kerjaan freelance di perusahaan tempat saya bekerja. Ada seorang pria yang begitu memujanya, tak hanya ucapan belaka namun semua ditumpahkannya lewat tindakan, dimulai dari ajakan untuk antar jemput kuliah, memberi tumpangan motor saat ada kegiatan bersama teman-teman sekelas, menjenguk saat sakit, menyiapkan sepatu teman saya di depan mushola saat selesai shalat, berlarian mengambilkan HP teman saya yang ketinggal di suatu tempat, senang menceritakan kisah hidupnya yang paling privasi, bahkan yang terburuk pun berani jujur diutarakan serta berbagai perhatian lainnya. Sayang sekali, teman saya tak ada hati untuknya.
Disaat yang bersamaan, teman saya tadi ternyata telah menambatkan hatinya kepada seorang pria lain, pria yang terkesan lebih misterius dan pendiam. Susah ditebak karakter dan isi hatinya. Hanya saja teman saya sudah terpesona dengan perangai dan wajah ‘cool’nya yang berkacamata. Beberapa kali teman wanita saya tadi mengirimkan sinyal perhatian dan juga memancing-mancing ‘hati’ pria itu agar keluar dari sangkarnya. Namun tak ada kepastian hingga akhirnya teman saya memberanikan diri untuk mengutarakan ‘cinta’ kepada pria tersebut. Apa yang terjadi? Pria tadi terlihat kaget namun berusaha memposisikan diri sebagai orang yang netral. Ia hanya memberikan argumentasi lembut, “Saat ini aku belum memikirkan punya pasangan & berumah tangga. Aku yakin kamu kelak dapat laki-laki lain yang jauh lebih baik dari aku...”
Terhenti sudah perjuangan teman wanita saya tadi. Awalnya ia seakan komplain kepada Tuhan, sudah jungkir balik memperjuangkan cinta ini, sudah tiap malam berdoa khusuk hanya untuk ini, sudah berusaha memposisikan diri sebagai wanita yang dia sukai, sudah masuk dalam dunianya & hobi-hobinya, toh pada akhirnya semua sia-sia. Teman saya akhirnya pasrah dan berusaha membuka lebar hati dan pikirannya agar dapat melanjutkan hidup yang lebih bermanfaat. Dan benar, setelah ia menghilangkan perasaan galaunya karena cinta, kini ia terlihat lebih ceria. Bisnis onlinenya yang dulu tersendat, kini laris manis sehingga ada saja transferan uang masuk ke rekeningnya setiap waktu. Hari-harinya makin bahagia walaupun tanpa cinta pria kebanggaannya itu. Apa yang dia harapkan tentang tujuan hidupnya juga sebentar lagi akan tercapai.
Lalu, bagaimana dengan nasib pria yang sejak awal mencintainya tadi? Teman saya mengatakan bahwa cinta tak dapat dipaksakan. “Selebar-lebarnya fisik saya membuka diri untuk menerimanya, kalau hati sudah berkata tidak ya tetap ‘tidak’, saya tak bisa memaksanya...”, katanya. Apalagi tak ada restu orang tua sehingga ia menyimpulkan sebuah sinyal Tuhan bahwa pria yang saat ini mengelu-elukan dia mungkin memang bukan jodohnya. Nyatanya, dia tak suka, begitu pun orang tuanya apalagi kelak setelah menikah, ia harus mengikuti suaminya ke luar pulau, hal yang sangat bertentangan dengan hati nuraninya.
[caption caption="Ilustrasi Pria Berkacamata (id.up-wallpaper.com)"]

Sepercik harapan tentang cinta masa depannya pasti ada. Ia berharap keajaiban Tuhan, “mudah-mudahan kelak dijodohkan dengan pria kacamata pujaanku...”. Tapi andai laki-laki itu bukan jodohnya, dia yakin akan ada pria hebat yang memperjuangkan cintanya. Inilah pelajaran berharga dihidupnya yang kini lebih mendewasakannya dan membuatnya move on dari kegundahan dan air mata. Tanpa ini, dia takkan lebih kuat dan dapat menikmati hidupnya seperti sekarang.